Persiapkan Diri! Dunia Gelap Kian Nyata, Ini Bukti Terbarunya

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
26 September 2022 09:35
401642 02: The hands of the Bulletin of the Atomic Scientists
Foto: Ilustrasi (Photo by Tim Boyle/Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman dunia yang 'gelap' di depan mata. Perang antara Rusia dan Ukraina yang memicu berbagai krisis menjadi alasan utama dunia kini dihantui ketidakpastian yang makin kronis.

Beberapa negara seperti Yunani, Italia, Spanyol, hingga Jerman sudah merasakan dampak dari krisis energi. Belum lagi ditambah dengan ancaman perubahan iklim berupa kekeringan yang sudah terjadi.

Joint Research Center Komisi Eropa melaporkan sebanyak 47% dari wilayah Benua Biru berpotensi mengalami kekeringan. Ini pun terjadi pula di China hingga Amerika Serikat (AS). Gelombang panas terjadi sejak Mei di Eropa. Ini kemudian disusul kurangnya curah hujan yang parah.

Saat pandemi Covid-19 melanda, perekonomian dunia mati suri. Banyak negara menerapkan kebijakan lockdown, alhasil dunia mengalami resesi. Pasca ditemukannya vaksin Covid-19, perekonomian global berangsur-angur membaik. Bahkan mulai melesat pada tahun lalu.

Namun, muncul masalah baru, inflasi perlahan mulai menanjak, sebab tingginya demand belum mampu diimbangi dengan peningkatan supply. Situasi ini pun direspons bank sentral sejumlah negara untuk melakukan pengetatan suku bunga.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan kondisi perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah yang disertai tingginya tekanan inflasi dan ketidakpastian di pasar keuangan.

Hal tersebut dikemukakan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi bulan September 2022 yang disiarkan secara daring.

"Perekonomian ekonomi global berisiko tumbuh lebih rendah," kata Perry.

Perry mengatakan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan lebih besar pada 2023, terutama di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China. Bahkan, ada risiko resesi di sejumlah negara maju.

"Volume perdagangan dunia tetap rendah, di tengah perlambatan ekonomi, disrupsi mata rantai pasokan global meningkat," kata Perry.

Perry mengatakan, inflasi di negara maju dan negara berkembang kini meningkat dan mendorong bank sentral di banyak negara dengan mengeksekusi kebijakan moneter yang agresif.

Situasi ini tentu akan memberikan dampak terhadap dolar AS. Bukan tidak mungkin, hal ini akan memberikan tekanan pada sejumlah mata uang lainnya tak terkecuali nilai tukar rupiah.


(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hot News! Dampak Resesi Ri Hingga Rusia Kirim Rudal Ke Ukrain

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular