Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Sejak virus corona menyerang, dunia tak pernah berhenti dihantam 'malapetaka'. Alam seakan masih belum bersahabat, setelah pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) hampir berakhir, 'kiamat' baru melanda beberapa negara.
Kekeringan yang sangat parah terjadi di negara-negara Barat. Joint Research Center Komisi Eropa melaporkan sebanyak 47% dari wilayah Benua Biru berpotensi mengalami kekeringan. Ini pun terjadi pula di China hingga Amerika Serikat (AS).
Gelombang panas terjadi sejak Mei di Eropa. Ini kemudian disusul kurangnya curah hujan yang parah.
Kedua hal itu membuat sungai-sungai besar di Eropa kering. Hal itu diyakini "secara substansial mengurangi" hasil panen, mempengaruhi panen jagung, kedelai dan bunga matahari hingga 16%, 15% dan 12%.
Di China Akibat suhu yang terik, beberapa bagian dari Sungai Yangtze yang mengalir melewati 10 provinsi kering.
Sama seperti Eropa kekeringan di sungai terpanjang ke-3 dunia itu, membawa petaka ke pertanian. Mengutip AFP, bencana ini membuat buah-buahan seperti persik dan buah naga gagal dipanen oleh petani dan lebih dari dua juta hektar lahan terdampak.
"Ini benar-benar pertama kalinya dalam hidup saya menghadapi bencana seperti itu. Tahun ini adalah tahun yang sangat menyedihkan," kata seorang petani dari wilayah Chongqing, Qin Bin.
"Kita seharusnya memanen buah-buahan sekarang, tetapi semuanya hilang, mati karena terik matahari."
Harga pangan dunia pun melonjak, dan menjadi salah satu pemicu inflasi, yang menjadi salah satu masalah utama dunia saat ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> 'Kiamat' Energi, Mata Uang Hingga Resesi
Saat pandemi penyakit Covid-19, perekonomian dunia mati suri. Banyak negara menerapkan kebijakan lockdown, alhasil dunia mengalami resesi.
Pasca ditemukannya vaksin Covid-19, perekonomian global berangsur-angur membaik. Bahkan mulai melesat pada tahun lalu. Namun, muncul masalah baru, inflasi perlahan mulai menanjak, sebab tingginya demand belum mampu diimbangi dengan peningkatan supply.
Kondisi semakin memburuk setelah perang Rusia dan Ukraina terjadi, membuat harga gas alam, minyak mentah dan batu bara naik gila-gilaan.
Eropa pun mengalami 'kiamat' energi. Benua Biru bahkan sampai terpaksa kembali menggunakan batu bara demi memenuhi kebutuhan energi.
Tingginya harga energi dan harga pangan akibat kekeringan membuat inflasi di berbagai negara meroket. Di Amerika Serikat (AS) dan Inggris inflasi berada di rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir, di zona euro bahkan rekor tertinggi sepanjang masa.
Tingginya inflasi membuat bank sentral di berbagai negara sangat agresif menaikkan suku bunga. Bank sentral AS (The Fed) menjadi yang paling agresif. Kebijakan tersebut membuat Eropa dan Jepang dilanda 'kiamat' mata uang.
Nilai tukar euro untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir berada di bawah level paritas, atau satu euro nilainya kurang dari US$ 1. Poundsterling Inggris bahkan jeblok ke level terlemah dalam 37 tahun terakhir, yen Jepang di level terlemah 24 tahun.
Jebloknya mata uang tersebut bisa berdampak buruk, inflasi bisa bertahan di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga memberikan masalah dalam jangka panjang.
Perekonomian dunia juga terancam 'kiamat', atau akan mengalami resesi. Bank dunia mengatakan perekonomian dunia akan mengalami resesi di 2023, akibat suku bunga tinggi.
"Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam," tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).
Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan.
Bank Dunia mengingatkan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%.
Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> 'Kiamat' Tenaga Kerja Terjadi di Mana-mana
'Kiamat' tenaga kerja bukan isapan jempol. Ini terjadi di banyak negara saat ini, mulai dari tetangga Malaysia, Australia,Amerika Serikat (AS), Kanada, Jepang hingga Inggris.
Berdasarkan riset dari perusahaan konsultan global, Korn Ferry, hingga 2030 diperkirakan akan ada 85 juta lowongan pekerjaan yang tidak akan terisi. Secara umum penyebabnya dikatakan kurangnya tenaga terampil untuk mengisi lowongan tersebut.
Randstad, konsultan sumber daya manusia multinasional asal Belanda, juga mengatakan demikian. Namun, penyebab kekurangan tenaga kerja di berbagai negara atau wilayah berbeda-beda.
Berdasarkan riset Randstad yang dirilis Mei lalu, di Amerika Serikat (AS) terhadap 11 juta lowongan pekerjaan. Sementara jumlah orang yang menganggur sebanyak 6,5 juta orang.
Hal yang sama juga terjadi di Eropa, di mana sebanyak 1,2 juta lowongan pekerjaan tidak mampu terisi. Di Australia, ada 400.000 lowongan kerja.
Dalam laporan itu, ada tiga sektor yang mengalami kelangkaan tenaga kerja. Meliputi:
Manufaktur
Menurut Randstad, sebelum pandemi menyerang para ahli sudah memprediksi secara global sektor manufaktur akan mengalami kekurangan tenaga keja hingga 8 juta orang. Saat ini, masalahnya menjadi lebih serius.
Di AS hingga 2030 sektor manufaktur diperkirakan akan mengalami kekurangan tenaga kerja sebanyak 2 juta orang. Sementara Inggris sedang menghadapi 'kiamat' tenaga kerja terparah dalam lebih dari 30 tahun terakhir.
Logistik
Sektor ini juga menjadi salah satu yang kesulitan mendapatkan pekerja. Bahkan 'kiamat' tenaga kerja di sektor logistik terjadi di seluruh dunia. Randstad mencontohkan, di AS sebanyak 80.000 kursi pengemudi truk lowong, di Inggris lebih banyak lagi, 100.000 kursi lowong.
Kesehatan
Selama pandemi Covid-19, sektor kesehatan menjadi yang paling 'babak belur'. Sudah jamak diketahui, para pekerja di sektor kesehatan mempertaruhkan nyawa mereka selama pandemi.
Yang menarik, menurut Randstad pekerja di sektor ini kini mempertimbangkan meninggalkan pekerjaannya. Sebab, ketika pandemi Covid-19 sedang tinggi-tingginya, mereka jam kerja mereka menjadi sangat panjang.