RI Setop Ekspor 'Harta Karun' Timah, Ini yang Bakal Terjadi..

Pratama Guitarra, CNBC Indonesia
23 September 2022 12:30
An employee works next to molten iron at a steel mill of Dongbei Special Steel in Dalian, Liaoning province, China July 17, 2018. REUTERS/Stringer  ATTENTION EDITORS - THIS IMAGE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY. CHINA OUT.
Foto: REUTERS/Stringer

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tepatnya Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali melayangkan pernyataan bahwa akan melarang ekspor timah ke luar negeri. Pernyataan Presiden Jokowi tersebut memang belum diketahui seperti apa road map larangan ekspor 'harta karun' timah milik RI yang terbesar di dunia itu

Yang terang, pelarangan ekspor ini menjadi tindak lanjut dari pelarangan ekspor bijih nikel mentah. Di mana, negara mendapatkan keuntungan sampai 19 kali lipat dari pelarangan ekspor bijih nikel menjadi barang bernilai tambah ketika diekspor.

Nah, kemungkinan pemerintah menginginkan bisa mendapatkan keuntungan yang serupa dari pelarangan ekspor timah ini. "Tahun ini, stop (ekspor) timah. Tahun depan bauksit, ke depannya lagi, tembaga," ujar Presiden Jokowi dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022, beberapa waktu yang lalu.

Lalu apakah selama ini timah yang diekspor merupakan jenis timah mentah dan belum memiliki nilai tambah, sehingga harus dibangun hilirisasi di dalam negeri?

Sekjen Asosiasi Eksprtir Timah Indonesia (AETI) sekaligus Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Jabin Sufianto menjelaskan bahwa selama beberapa tahun belakangan, Indonesia sudah melakukan ekspor timah dalam bentuk timah murni dengan kandungan Sn sampai 99,99. "Timah yang diekspor sekarang sudah merupakan bentuk timah murni," ungkap Jabin, dikutip Jumat (23/9/2022).

Yang terpenting saat ini adalah, bagaimana menyamakan persepsi kepada pemerintah bahwa ekspor timah yang dilakukan sudah bukan produk mentah melainkan timah murni dengan kandungan yang besar. "Kalau nilai tambah sudah 99,99 apakah worth it untuk mengejar yang 0,01," jelas dia.

Sejatinya, AETI dan Kadin sepakat mendukung rencana pemerintah mengembangkan hilirisasi di dalam negeri. Namun hilirisasi tidak bisa dilakukan secara mendadak apalagi jika bisa selesai pada tahun ini. Sejauh ini, dari catatan Jabin, hilirisasi timah yang ada di Indonesia baru mencapai 5% secara keseluruhan. Artinya, jika ingin mengejar hilirisasi mencapai 100% dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. "Investasi butuh waktu dan tidak bisa dalam tiga bulan jadi pabrik hilirisasi," ungkap Jabin.

Jabin memperhitungkan, jangan sampai perubahan bentuk timah melalui hilirisasi akan merugikan Indonesia dan menguntungkan negara-negara tetangga. Di mana, negara yang menerima ekspor timah dalam hilirisasi akan kembali mengubah timah dengan bentuk Tin Ingot yang saat ini dimiliki.

"Kita ekspor ke mereka, malah dicetak balik kebentuk Ingot dan mereka yang untung. Jadi kami AETI dan KADIN ingin ada kepastian bahwa pemerintah membuat sesuatu kebijakan yang jangan merugikan kami pengusaha, tapi menguntungkan luar negeri. Kita harus bisa membuat road map yang di mana road map itu nantinya jadi acuan untuk hilirisasi bertahap, jadi benar-benar menguntungkan bagi Indonesia," ungkap dia.

Adapun jika hilirisasi berjalan di Indonesia, maka produk jadi yang akan dihasilkan di Indonesia salah satunya adalah Tin Chemical. Di mana, produk tersebut memiliki masa kadaluarsa hanya bisa bertahan tiga bulan.

Nah, jika ekspor tin chemical dilakukan ke luar negeri, maka pihak pembeli hanya akan memiliki waktu yang singkat dalam produk tersebut. "Kita kirim ke mereka misalnya perlu waktu satu bulan. Maka mereka hanya bisa memanfaatkan tin chemical beberapa bulan saja. Tentu importir akan memiliki negara yang paling dekat," tandas dia.

Tak Punya Power di Bursa Harga Timah

Indonesia menjadi negara yang memiliki cadangan timah terbesar nomor 2 di Indonesia. Kementerian ESDM mencatat, total cadangan timah dunia saat ini mencapai 4.741.000 Ton logam. Adapun dari jumlah tersebut kontribusi cadangan timah Indonesia mencapai 800 ribu ton atau 17% dari cadangan timah dunia.

Sementara, kontribusi cadangan timah China terhadap dunia mencapai 23 persen, Brazil 15%, dan Australia 8%.

Adapun total ekspor logam timah Indonesia pada tahun 2021 mencapai 74 ribu ton meningkat dari tahun 2020 yang hanya 65 ribu ton. Sementara penyerapan dalam negeri sekitar 5% dari produksi logam timah nasional.

Atas kontribusi ekspor terbesar di dunia itu, logam timah Indonesia cukup bisa mempengaruhi bursa harga harga timah dunia. Nah, Apabila produk dari Indonesia berbeda-beda, tentunya Indonesia bisa tidak lagi mempengaruhi bursa harga timah.

"Jangan sampai gara-gara kita dipaksakan hilirisasi, dengan volume besar yang kita bisa menggerakan harga, nanti kalau hilirisasi terpecah (produknya) yang tadinya kita menguasai dunia, kita tidak bisa lagi bergaung di dunia pertimahan," tandas Jabin.

Ekonomi Bangka Belitung Bisa 'Terguncang'

Seperti yang diketahui, produksi timah terbesar di Indonesia berada di Bangka Belitung. Kegiatan pertambangan timah sejatinya menjadi tulang punggung perekonomian Bangka Belitung

Tercatat, kegiatan pertambangan timah secara langsung terhadap perekonomian bangka belitung mencapai 30% dan multiplier efeknya bisa mencapai 60% terhadap perekonomian daerah tersebut. "Kalau ditutup ekspornya karena belum hilirisasi, maka bisa job les tidak ada kerjaan," ungkap Jabin.

Oleh karena itu, AETI dan Kadin ingin mengadakan FGD sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan yang bisa menguntungkan semua. Pemerintah untung, pengusaha tidak diberatkan dan kita benar-benar memiliki satu road map.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wow! Gegara Ini, RI Terancam Kehilangan Duit Rp 121,2 Triliun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular