Ini Dia Daerah di RI yang Listriknya Melimpah Ruah, Tempatmu?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
22 September 2022 17:15
Petugas memeriksa tegangan Gardu induk tegangan ekstra tinggi 500kv Gandul, Depok, Jawa Barat, Jumat  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki_
Foto: Petugas memeriksa tegangan Gardu induk tegangan ekstra tinggi 500kv Gandul, Depok, Jawa Barat, Jumat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki_

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bahwa Indonesia sampai akhir tahun ini diperkirakan akan mengalami kelebihan pasokan listrik hingga 6 Giga Watt (GW).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, kelebihan daya ini secara umum terjadi di semua wilayah. Namun, yang paling signifikan khususnya terjadi di Pulau Jawa.

"Seluruh Indonesia over supply (listrik), tapi kebanyakan di Jawa," ujar Rida saat ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (22/9/2022).

Ditemui di tempat yang sama, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan bahwa dalam kontrak jual beli listrik dengan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), PLN dikenakan skema "Take or Pay" (ambil atau bayar). Maksudnya, PLN harus mengambil pasokan listrik dari pengembang sesuai dengan jumlah yang tertuang di dalam kontrak. Bila tidak diambil, maka PLN akan dikenakan sanksi atau membayar penaltinya.

Oleh sebab itu, pemerintah terus mendorong agar persoalan kelebihan pasokan listrik yang terjadi di PLN dapat teratasi. Salah satunya yakni dengan menggenjot program kompor listrik hingga kendaraan listrik untuk mengurangi beban tersebut.

"Ini untuk menyalurkan over supply, kan kalau over supply harus bayar 'take or pay'. Ini kan beban," kata Arifin.

Untuk diketahui, PT PLN (Persero) saat ini tengah mengalami kelebihan suplai listrik akibat turunnya konsumsi listrik selama masa pandemi Covid-19 dan juga masuknya beberapa tambahan pembangkit listrik baru.

Meski konsumsi masih lemah, namun PLN tetap harus membeli listrik dari pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), terutama dari pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, sesuai dengan perjanjian jual beli atau Power Purchase Agreement (PPA).

Skema tersebut dikenal dengan nama "Take or Pay" (TOP) alias ambil atau bayar denda. PLN mau tidak mau harus tetap mengambil listrik atau membayar denda kepada IPP bila pasokan yang diambil tidak sesuai dengan kontraknya.

Skema perjanjian jual beli listrik ini pun dikritisi oleh salah satu anggota Badan Anggaran DPR RI. Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharam sebelumnya mengatakan skema TOP ini bahkan diperkirakan bisa mencapai puluhan triliun per tahun.

Dia menilai skema Take or Pay ini semakin memberatkan PLN di tengah terjadinya kelebihan pasokan (over supply) listrik saat ini. Menurutnya, skema ini harus diperbaiki karena secara tidak langsung juga menyebabkan inefisiensi kepada PLN. Pada akhirnya, ini juga terkait dengan subsidi listrik yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Kalau mau memperbaiki PLN itu bukan sekedar di hilirnya, siapa penerimanya, tapi ada juga terkait loses, misalnya inefisien yang bukan standar teknis, yang jumlahnya bisa puluhan triliun. Yang lebih penting lagi di hulunya, mengenai kontrak jual beli ketenagalistrikan dari penyedia listrik swasta atau IPP," paparnya dalam Rapat Panja Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan Banggar DPR RI, Kamis (09/09/2021).

Dia berpendapat, adanya skema TOP ini juga membuat sejumlah pembangkit listrik yang dimiliki PLN, termasuk dari sumber energi terbarukan tidak bisa dioperasikan secara optimal karena harus membeli listrik dari pengembang swasta tersebut.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kelebihan Listrik, Tapi Bisa Jadi Malapetaka Bagi PLN?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular