
Bos PLN Bongkar Rahasia Bisa Kurangi Denda Kontrak Listrik

Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN (Persero) berhasil melakukan renegosiasi kontrak dan penundaan jadwal operasi sejumlah pembangkit listrik dengan perusahaan listrik swasta alias Independent Power Producer (IPP).
Akibatnya, perseroan berhasil mencapai penghematan Rp 47,05 triliun karena terbebas dari kewajiban pembayaran denda akibat skema Take or Pay dalam kontrak jual beli listrik.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan hal tersebut tidak terlepas dari pendekatan yang telah dilakukan perseroan dengan sejumlah perusahaan pengembang listrik swasta tersebut.
Dia menjelaskan, kontrak jual beli ketenagalistrikan dengan penyedia listrik swasta melalui sistem kontrak Take or Pay (TOP) sejatinya sangat kuat alias powerfull.
Ini berkaca dari kekalahan pemerintah dan PLN yang sempat melakukan renegosiasi secara legal di arbitrase internasional terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Bodas. Akibatnya, PLN saat itu harus membayar denda sekitar US$ 380 juta.
"Dengan terpaksa kita bayar punitive damage waktu itu US$ 380 juta, ditambah legal fee dari potential partner kita US$ 25 juta pun dibebankan ke PLN," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (15/2/2023).
Menurut Darmawan, belajar dari pengalaman di masa lalu tersebut, pihaknya kemudian membangun suatu argumen yang berbeda. Pasalnya, apabila dilakukan dengan cara yang sama, PLN akan kembali mengalami kekalahan.
"Untuk itu, kami membangun apakah ada klausul force majeure ternyata tidak ada, kemudian apakah kalau demand tidak tercapai apakah ini menjadi bebannya mereka? Ternyata ini secara kontrak beban demand ada di PLN," kata dia.
Oleh sebab itu, PLN tidak lagi menyebut kondisi yang dihadapi saat ini karena alasan force majeure, namun lebih tepatnya yakni hardship, di mana pada saat PPA itu ditandatangani, asumsinya dianggap benar, maka kontrak tersebut sebenarnya fair. Tetapi begitu asumsinya tidak terpenuhi, maka kontrak yang tadinya fair bergeser menjadi tidak fair.
"Nah itu lah yang kami sampaikan ke partner-partner kami dan kami bukan ingin inisiasi legal battle tapi kami menyampaikan bahwa dulu ini fair sesuai asumsi yang ada tapi begitu asumsi tidak terpenuhi maka beban itu di PLN dan kami menyampaikan ingin berbagi beban tapi bukan inisiasi legal battle," kata dia.
Dalam argumentasi tersebut, Darmawan menyampaikan apabila ekosistem ini menjadi rapuh, maka partner-partner PLN tentunya juga akan turut terdampak. Mengingat kondisi keuangan yang stabil dari partner partner tersebut bergantung pada kemampuan PLN dalam membayar mereka.
"Inilah suatu semangat kebersamaan dan kami pun tidak ingin partner kami bangkrut karena kalau partner kita bangkrut pun ternyata ekosistem kelistrikan yang tadi kondusif untuk berinvestasi menjadi kembali ke ekosistem yang dulu sangat sulit untuk undang investasi di sistem kelistrikan," kata dia.
Dia menyebut, pihaknya menghadapi kondisi kelebihan pasokan listrik (oversupply) di Pulau Jawa selama 12 bulan karena adanya penambahan kapasitas pembangkit listrik baru sekitar 7 Giga Watt (GW). Sementara itu, penambahan permintaan listrik hanya tumbuh sekitar 1,2-1,3 GW.
"Sampai akhir 2021 kami berhasil menekan Take or Pay (TOP) sebesar Rp 37,21 triliun, di tahun 2022 upaya ini terus dilakukan, sehingga tambahan TOP yang bisa ditekan adalah Rp 9,83 triliun dan untuk itu total TOP yang berhasil ditekan Rp 47,05 triliun," paparnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PLN Sukses Hindari Bayar Denda Rp 47 Triliun ke Swasta
