'Kiamat' Eropa Nambah Lagi! Krisis Energi, Likuiditas Juga
Jakarta, CNBC Indonesia - Eropa kini memang tengah bergelut dengan ancaman krisis energi. Imbas sanksi ke Rusia karena serangan Kremlin ke Ukraina membawa pasokan makin menipis.
Namun bukan hanya itu saja. Harga energi melambung juga diyakini menimbulkan krisis baru, yakni likuiditas.
Mengutip Reuters, ini terkait penyedia listrik di negara-negara itu. Mereka, tulis media itu, berada dalam kehancuran.
Jika tidak ada dukungan keuangan, kelancaran operasi perusahaan-perusahaan akan terpengaruh. Ini akan berimbas pada kemungkinan musim dingin yang mencekam bagi warga Eropa.
Beberapa perusahaan kecil disebut sudah terluka parah. Mereka terpaksa keluar total dari perdagangan karena harga energi melonjak setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari, yang memperburuk keadaan.
Di beberapa kasus seperti Uniper milik Jerman, Uni Eropa (UE) telah turun langsung. Tapi dengan harga yang tinggi apalagi memasuki musim dingin, tidak ada jaminan seberapa kuat pemerintah Eropa dan UE dapat mendukung bank atau utilitas lain yang perlu melindungi perdagangan mereka.
"Perusahaan milik negara Norwegia Equinor, pedagang gas utama Eropa, mengatakan bulan ini bahwa perusahaan energi Eropa, tidak termasuk di Inggris, membutuhkan setidaknya US$ 1,5 triliun untuk menutupi biaya akibat melonjaknya harga gas," tulis Reuters.
"Itu dibandingkan dengan nilai US$ 1,3 triliun dari subprime morgage Amerika Serikat pada tahun 2007, yang memicu krisis keuangan global," tambahnya.
Sebenarnya likuditas seret ini diyakini tak hanya menganggu penyedia energi saja. Tapi juga asosiasi pedagang, utilitas termasuk bankir. Mereka dikabarkan sudah menyerukan rencana darurat.
Hal ini dipicu oleh para pelaku pasar yang terburu-buru untuk menutupi eksposur keuangan mereka terhadap melonjaknya harga gas. Baik melalui derivatif dan lindung nilai (hedging). Kekhawatiran sudah diberitahukan sejak Maret.
(tfa/sef)