Akhir Pandemi Sudah Dekat, tapi Situasi Ekonomi Makin Ngeri!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
18 September 2022 15:31
Infografis/ 45 Negara Resmi resesi, Ri Di Ujung Tanduk/Aristya Rahadian Krisabella
Foto: Infografis/ 45 Negara Resmi resesi, Ri Di Ujung Tanduk

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa akhir dari pandemi Covid-19 sudah di depan mata. Namun, kondisi perekonomian dunia kian memburuk. Apa pemicunya?

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, dunia berada di posisi yang sangat baik untuk segera mengakhiri pandemi Covid-19.

"Kita belum sampai di sana. Tetapi akhirnya sudah di depan mata," katanya saat konferensi pers dikutip dari Reuters, Sabu (17/9/2022).

Disebutkan, vaksinasi dan terapi penanganan Covid-19 telah membantu membendung kematian dan rawat inap, dan varian Omicron yang muncul akhir tahun lalu menyebabkan penyakit yang tidak terlalu parah. Kematian akibat Covid-19 pekan lalu dilaporkan sebagai level terendah sejak Maret 2020 oleh PBB.

Sejauh ini, ada 606 juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi Virus Corona dan 6,5 juta tewas karenanya.

Tedros juga kembali mendesak negara-negara untuk menjaga kewaspadaan mereka dan menyamakan pandemi dengan perlombaan maraton. Dia mendesak negara-negara mengevaluasi kebijakan dan memperkuatnya untuk COVID-19 dan virus di masa depan. Serta, mendorong vaksinasi 100% kelompok berisiko tinggi dan tetap melakukan pengujian.

"Sekarang adalah waktunya untuk berlari lebih keras dan memastikan kita melewati batas dan menuai hasil dari semua kerja keras kita."

Sayangnya, kabar baik tersebut tidak dibarengi dengan situasi perekonomian di dunia. Sejak perang antara Rusia-Ukraina mencuat pada 24 Februari 2022, negara-negara di dunia kompak diterpa badai inflasi yang tinggi karena pasokan energi dan pangan terhambat membuat harga komoditas-komoditas dunia melonjak.

Hal tersebut memaksa bank sentral untuk memperketat kebijakan moneternya untuk meredam inflasi yang kian meninggi. Namun, pertumbuhan ekonomi pun cenderung melambat, sehingga kebijakan bank-bank sentral di dunia untuk menaikkan suku bunga acuannya menjadi hal yang cukup dilematis karena dapat memicu resesi.

Bahkan, secara teknis, negara dengan perekonomian terbesar di dunia seperti Amerika Serikat (AS) sudah mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi selama dua kuartal beruntun tahun ini.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen sendiri membenarkan adanya risiko resesi di negeri Adi Kuasa tersebut karena pertempurannya melawan inflasi dapat memperlambat ekonomi negara itu.

Meski begitu, pasar memprediksikan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih akan terus menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuannya pekan depan.

Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, pasar memprediksikan peluang sebanyak 80% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3%-3,25%. Sementara sisanya memproyeksikan The Fed akan lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps menjadi 3,25%-3,5%.

Hal tersebut terjadi setelah rilis data inflasi AS pada Agustus 2022 yang berada di 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Selasa (13/9/2022). Angka ini meleset dari prediksi ekonom yang disurvei oleh Reuters, yang memperkirakan inflasi akan berada di 8,1%.

Laju pertumbuhan harga konsumen AS naik karena penurunan biaya energi gagal untuk sepenuhnya mengimbangi kenaikan harga jasa dan pengeluaran lainnya.

Selain itu, di Jerman, inflasi pada Agustus 2022 tercatat berada di 7,9% secara tahunan (yoy) dan menjadi yang tertinggi sejak 1990-an. Tingginya inflasi pada Agustus 2022 disebabkan oleh krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina. Bahkan, Jerman diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi tahun 2023.

Peringatan ini disampaikan Institut Riset Ekonomi Ifo yang berbasis di Munich. Institut Ifo memperkirakan ekonomi terbesar Eropa ini akan menyusut 0,3% pada 2023. Sementara inflasi diperkirakan mencapai 8,1% tahun ini dan 9,3% tahun depan.

Badai inflasi juga menerpa negara di Benua Biru, inflasi Eropa pada Agustus 2022 kembali mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah sebesar 9,1% secara tahunan (yoy). Tingginya sejumlah harga pembentuk inflasi seperti energi yang naik 38,6% serta makanan, alkohol,dan rokok sebesar 10,6% menjadi penyebab utama.

Tingginya inflasi kembali meningkatkan potensi bahwa bank sentral Eropa (ECB) juga akan menaikkan suku bunga acuannya untuk meredam inflasi.

Wakil Presiden Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) Luis de Guindos mengatakan inflasi tidak akan bisa diatasi secara alami melalui perlambatan ekonomi, bahkan resesi. Menurutnya, ECB harus terus menaikkan suku bunga.

"Perlambatan ekonomi tidak akan 'mengurus' inflasi dengan sendirinya," kata de Guindos, dikutip dari Reuters, Jumat (16/9/2022).

"Perlambatan ekonomi akan mengurangi tekanan permintaan, yang akan menurunkan inflasi," tambahnya. "Tapi, secara bersamaan, kita harus bertindak dari sudut pandang kebijakan moneter untuk menjaga ekspektasi inflasi tetap berlabuh dan menghindari efek putaran kedua."

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings dalam laporannya dalam Global Economic Outlook (GEO) September 2022, kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini.

Fitch memproyeksikan PDB global akan tumbuh sebesar 2,4% pada 2022 - direvisi turun 0,5 poin persentase sejak GEO Juni - dan hanya 1,7% pada 2023, pemotongan hingga 1 poin persentase.

Kepala Analis Fitch Ratings Brian Coulton menyatakan bahwa penurunan prediksi tersebut seiring dengan krisis yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Zona euro dan Inggris pun diperkirakan memasuki resesi akhir tahun ini dan Fitch memproyeksikan bahwa AS akan mengalami resesi ringan pada pertengahan 2023.

Fitch memperkirakan ekonomi zona euro berkontraksi sebesar 0,1% pada 2023 - penurunan 2,2 poin persentase sejak Juni yang mencerminkan dampak krisis gas alam.

Sementara itu, Fitch memperkirakan pertumbuhan AS sebesar 1,7% pada 2022 dan 0,5% pada tahun 2023, direvisi turun masing-masing sebesar 1,2 poin persentase dan 1 poin persentase.

Selain itu, di China, pembatasan Covid-10 dan kemerosotan properti yang berkepanjangan membuat proyeksi pertumbuhan PDB turun 0,9 poin persentase menjadi 2,8% pada 2022 dan akan pulih menjadi 4,5% pada 2023.

Perkiraan tersebut menimbang adanya larangan pasokan gas Rusia ke Eropa. Terlepas dari upaya UE untuk menemukan alternatif energi, total pasokan gas UE akan turun secara signifikan dalam jangka waktu yang dekat, dan akan memberikan dampak terhadap rantai pasokan industri.

Dampak tersebut akan kian memburuk, jika Eropa menerapkan pembatasan penggunaan gas. Negara yang akan paling terdampak yakni Jerman. Harga gas dan listrik di Eropa juga telah meningkat sepuluh kali lipat. Dengan begitu, tentunya Indeks Harga Konsumen (IHK) juga akan terkerek naik.

Inflasi yang tinggi dan persisten, ekspektasi inflasi jangka pendek yang meningkat, dan pasar tenaga kerja yang ketat telah mendorong The Fed, Bank of England (BOE) dan ECB untuk berubah lebih hawkish dalam beberapa bulan terakhir dan berada dalam mode pengetatan kuantitatif dengan berencana menjuak obligasinya secara langsung.

The Fed sekarang diperkirakan akan menaikkan suku bunga menjadi 4% pada akhir tahun dan menahannya hingga 2023, tingkat refinancing ECB diperkirakan akan naik menjadi 2% pada bulan Desember, dan suku bunga bank BOE diperkirakan mencapai 3,25% pada Februari 2023.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular