Eksportir Parkir Uang di LN, RI Bisa 'Kiamat' Dolar AS?

haa, CNBC Indonesia
Senin, 12/09/2022 06:50 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekeringan pasokan valuta asing (valas) telah melanda Tanah Air. Hal ini dipicu oleh eksportir dan pengusaha dalam negeri yang memilih memarkir devisanya di luar negeri.

Seperti diketahui, selama pandemi, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memberikan kelonggaran terhadap eksportir dalam hal memarkir keuntungannya di dalam negeri.


Relaksasi ini dilakukan dalam rangka mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19 yang sedang menuju pemulihan. Hingga saat ini, ketika dunia usaha berangsur pulih, pemerintah dan BI belum mencabut relaksasi tersebut.

Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani mengungkapkan salah satu faktor yang membuat eksportir berat menaruh devisa hasil ekspor (DHE) adalah nilai tukar rupiah yang fluktuatif. Kondisi ini merupakan risiko bagi mereka.

"Itu yang mereka takutkan karena selisih berapa persen saja sudah membuat cost mereka naik. Itu yang menjadi kendala selama ini apalagi volatilitas rupiahnya sangat tinggi sehingga itu buat mereka kalau uangnya di taruh di sini menjadi kendala," papar Aviliani dalam program Power Lunch, CNBC Indonesia (9/9/2022).

"Itu fluktuasi nilai tukar kita agak sulit, kalau dengan swap kan mahal asuransinya," lanjutnya.

Oleh karena itu, dia menilai pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu memberikan insentif, tidak hanya sanksi dalam hal DHE. Menurutnya, BI dan pemerintah dapat menjamin spread atau gap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Gimana caranya pemerintah bisa membantu agar spreadnya tidak terlalu tinggi sehingga mereka merasa nyaman, walaupun uangnya dalam rupiah ketika mereka membutuhkan dolar lagi tidak terlalu tinggi spreadnya jadi menjamin DHE yang ditempatkan itu spreadnya akan lebih kecil," ujar Aviliani.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.135/PMK.04/2021, eksportir tidak melakukan penempatan DHE SDA ke dalam rekening khusus dikenakan pungutan berupa denda sebesar 0,5% dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan.

Sementara itu, jika eksportir menggunakan DHE SDA pada rekening khusus DHE SDA untuk pembayaran di luar ketentuan, eksportir dikenakan pungutan berupa
denda sebesar 0,25% dari nilai DHE yang digunakan tersebut.

Sejalan dengan aturan ini, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memperpanjang batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir Desember 2022.

Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, perpanjangan batas waktu ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19 yang sedang menuju pemulihan.

Selain itu juga untuk menangkap peluang ekspor sejalan dengan peningkatan harga berbagai komoditas ekspor dan kondisi ekonomi negara mitra dagang yang membaik.

"Perpanjangan ini melanjutkan berbagai kebijakan yang telah dilakukan BI sebelumnya untuk menciptakan situasi yang kondusif guna mendorong ekspor, antara lain kebijakan tidak dikenakannya SPE sejak 31 Maret 2020 sampai dengan akhir Desember 2020," jelas Erwin dalam siaran persnya, Selasa (13/7/2021).

Kebijakan perpanjangan tersebut diberlakukan untuk semua eksportir yang telah dikenakan SPE sebelum berlakunya PBI DHE dan DPI serta PP No. 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengungkapkan seiring berlanjutnya pemulihan ekonomi, berbagai kebijakan yang sifatnya sementara yang diterapkan saat pandemi akan diakhiri secara bertahap.

"Salah satunya adalah pengenaan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan terkait devisa hasil ekspor (DHE) yang akan kembali diterapkan," tegasnya kepada CNBC Indonesia, Sabtu (10/9/2022).

"Kita harapkan dengan langkah ini didukung kepatuhan oleh eksportir, devisa hasil ekspor dapat semakin banyak masuk sehingga bermanfaat optimal mendukung ekonomi domestik." lanjutnya.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David E. Sumual mengungkapkan bahwa secara umum, pertumbuhan kredit valasnya lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga valas.

Mengutip data terakhir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit valas tumbuh 16,82% dan DPK valasnya 5,8%. Kondisi ini menjadi tanda bahwa likuditas valas di dalam negeri tengah dilanda kekeringan.

"Jadi lebih cepat kredit daripada DPK. Artinya LDR bank-bank, enggak semua bank, ada beberapa bank yang kredit valasnya sudah mentok, 100% bahkan lebih. Artinya dia harus terbitkan surat berharga, di pasar modal berdenominasi dolar supaya dapat tambahan valas," ungkapnya.

Adapun, penyebab keringnya likuditas juga dipicu oleh arus modal keluar (capital outflow) di pasar keuangan akibat ketidakpastian ekonomi global.

BI mencatat arus modal keluar didominasi oleh obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN). Per 1 September, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 131,96 triliun di pasar SBN pada 2022. Sedangkan di pasar saham masih ada beli bersih (net buy) Rp 66,06 triliun.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mei 2025, Cadev RI Stabil di Level USD 152,5 Miliar