
RI Tadinya Aman dari Resesi, Setelah BBM Naik Jadi Gimana?
![[THUMB] Indonesia Resmi Resesi!](https://awsimages.detik.net.id/visual/2020/11/05/dalam-indonesia-resmi-resesi-1_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan menahan harga bahan bakar minyak (BBM) lewat tambahan subsidi tadinya menempatkan Indonesia pada kategori yang cukup aman dari risiko resesi. Kini kebijakan berubah, bagaimana nasib Indonesia ke depan?
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Senin (5/9/2022) menyampaikan, pada 2022, ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di atas 5%, berkisar antara 5,1-5,4%. Maka artinya Indonesia tidak akan jatuh ke jurang resesi.
"Sampai akhir tahun PDB kita akan berada di range itu," tegas Suahasil.
Harga BBM jenis Pertalite dinaikkan menjadi Rp 10.000 per liter dan solar subsidi menjadi Rp 6.800 per liter dan Pertamax juga alami kenaikan menjadi Rp 14.500 per liter.
Kebijakan ini akan mendorong kenaikan inflasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jelas dampaknya akan memukul daya beli masyarakat yang diketahui baru pulih dari pandemi covid-19.
"Kita akan lihat kenaikan harga bbm akan mendorong inflasi September dan Oktober," jelasnya. "Secara month to month (mtm) kita akan lihat di November sudah kembali ke pola normal. Kita perhatikan terus sampai akhir tahun."
Inflasi hingga Agustus 2022 berada pada level 4,69% (year on year/yoy). Lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 4,94% dikarenakan deflasi yang terjadi pada beberapa kelompok barang.
"Inflasi akhir tahun 6,6 - 6.8% karena kenaikan BBM," ungkap Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu saat ditemui di Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Apabila melihat situasi negara lain dalam beberapa waktu terakhir. Potensi resesi memang terjadi pasca harga BBM naik, inflasi melonjak dan diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral. Sehingga konsekuensinya perekonomian akan turun drastis.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo memastikan kenaikan harga BBM akan mendorong inflasi melebihi kisaran sasarannya. Menurutnya, dampak lanjutannya ke harga barang lain (second round impact) dan ekspektasi inflasi perlu dimitigasi.
"Untuk ini, BI telah melakukan respons preemptive berupa normalisasi kebijakan moneter termasuk kenaikan suku bunga kebijakan pada RDG terakhir," tegas Dody kepada CNBC Indonesia.
Dari sisi pasokan, dia menuturkan BI terus bersinergi dengan pemerintah untuk memastikan ketersediaan dan menjaga harga pangan tetap stabil melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan atau GNPIP.
"Inflasi pangan kita harapkan dapat berada di kisaran 5% dengan perbaikan pasokan, pemetaan surplus defisit yang lebih baik, kerjasama antar daerah dan operasi pasar yang lebih efektif," ujarnya.
Dengan langkah-langkah ini dan pengalihan subsidi menjadi lebih tepat sasaran, dia yakin daya beli dapat dijaga, konsumsi tetap tumbuh dan pemulihan ekonomi berlanjut.
Sementara itu hal berbeda diungkapkan oleh Direktur CELIOS Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, masyarakat belum siap menghadapi kenaikan harga energi yang akan diikuti oleh barang dan jasa lainnya.
"Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan diwaktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi 10.000 per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja," kata Bhima.
Bantuan sosial (bansos) tambahan senilai Rp 24 triliun sebagai bantalan bagi masyarakat yang membutuhkan juga menurut Bhima tidak cukup. Diketahui, ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp 600.000 untuk 20,65 juta keluarga.
Kemudian Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi 16 juta pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Adapun bantuan yang diberikan sebesar Rp 600 ribu per pekerja. Pemerintah juga meminta pemerintah daerah memberikan subsidi yang bisa diambil dari dana transfer ke daerah. Tujuannya adalah UMKM, ojek, nelayan dan lainnya.
"Bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan, tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM. Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga 7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin," terang Bhima.
(mij/mij) Next Article Wapres Buka Suara Soal Kenaikan Harga BBM, Simak Baik-baik!