Jakarta, CNBC Indonesia - Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sudah naik. Dampaknya tentu besar, karena BBM adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah menteri membuat pengumuman mengejutkan. Setelah cukup lama menjadi bahan spekulasi, akhirnya kenaikan harga BBM benar-benar dieksekusi. Efektif per 4 September 2022 pukul 14:30 WIB.
Harga BBM jenis RON 90 atau Pertalite naik dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter. Sementara harga minyak diesel atau Solar naik dari Rp 5.150/liter ke Rp 6.800/liter.
Pertalite dan Solar adalah BBM bersubsidi. Namun bukan yang bersubsidi saja yang naik, harga BBM non-subsidi juga didongkrak. Harga BBM jenis RON 92 atau Pertamax naik dari Rp 12.500/liter menjadi Rp 14.500/liter.
Dari sisi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menaikkan harga BBM memang sulit terhindarkan. Pertanyaannya bukan lagi naik atau tidak, tetapi kapan bakal naik.
APBN 2022 disusun dengan asumsi rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) di US$ 63/barel. Nyatanya, harga si emas hitam sudah jauh di atas itu.
Nilai ICP dekat dengan brent, sehingga keduanya bisa disandingkan. Sepanjang 2022, rata-rata harga brent ada di US$ 103,87/barel. Jauh di atas asumsi APBN 2022.
Faktor lain yang akan mempengaruhi anggaran subsidi (dan kompensasi) BBM adalah nilai tukar. Sebab, Indonesia adalah negara berstatus net-importir minyak. Produksi dalam negeri belum bisa memenuhi permintaan sehingga ada komponen impor, yang dibayar dengan mata uang asing, utamanya dolar Amerika Serikat (AS). Jadi saat rupiah melemah, maka biaya impor akan membengkak dan membuat biaya pengadaan BBM ikut terangkat.
APBN 2022 mengasumsikan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di Rp 14.350/US$. Hingga 2 September, rata-ratanya adalah Rp 14.895/US$. Masih berada di atas asumsi.
Tahun ini, anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi diperkirakan melonjak hingga Rp 502,4 triliun. Ingat, itu baru subsidi energi saja, belum non-energi. Namun jumlahnya sudah jauh melampaui pagu awal di Undang-undang (UU) APBN 2022 di mana anggaran subsidi ditetapkan Rp 206,96 triliun.
Oleh karena itu, langkah pengendalian harus segera dilakukan. Jika kondisi masih seperti sekarang, business as usual, maka permintaan Pertalite akan meningkat sehingga beban subsidi dan kompensasi makin berat.
Salah satu pengendalian itu adalah melalui harga. Saat harga Pertalite naik, maka diharapkan masyarakat akan mengurangi konsumsi sehingga biaya subsidi bisa ditekan. Selain itu, kenaikan harga juga membuat selisih harga yang ditanggung negara berkurang yang otomatis menurunkan beban subsidi.
Kenaikan harga BBM akan berdampak luas. Sebab, BBM adalah barang yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri inflasi Indonesia bakal menanjak. Saat ini inflasi Tanah Air sudah berada di atas 4%, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak 2017.
Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, menyatakan kenaikan harga Pertalite sebesar 30,72% dan Pertamax 16% akan menyumbang inflasi 1,35 poin persentase (ppt). Sementara harga Solar yang naik 32,04% menambah inflasi 0,17 ppt.
"Dengan demikian, inflasi pada akhir 2022 kami prediksi akan berada pada kisaran 6,27%, atau lebih tinggi dari angka proyeksi awal kami yang sebesar 4,6%. Inflasi inti kami proyeksi akan berada pada kisaran 4,35% pada akhir tahun," sebut Faisal dalam risetnya.
Inflasi yang meninggi, lanjut Faisal, akan membuat Bank Indonesia (BI) bisa lebih agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter. Kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut sulit terhindarkan.
"Kenaikan inflasi umum ke kisaran 6,27% tahun ini dan inflasi inti ke atas target range akan mendorong BI untuk menaikkan suku bunga acuan maksimal 100 bps (basis poin) ke 4,75% pada sisa 2022, atau lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi awal kami yang sebesar 50 bps ke 4,25% sebelum adanya kenaikan harga BBM bersubsidi. Lebih jauh lagi, kenaikan inflasi yang berlanjut ke semester I-2023 juga akan membuka peluang BI untuk melanjutkan kenaikan suku bunga acuan pada awal tahun depan," jelasnya.
Kenaikan harga BBM dan suku bunga sedikit banyak akan menggerus daya beli masyarakat, menurunkan konsumsi, dan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Faisal memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5% tahun ini.
"Kenaikan harga ketiga jenis BBM berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33 ppt. Dengan demikian, kami masih melihat ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh di kisaran 5% secara full-year pada 2022," tulisnya.
Akan tetapi, kenaikan harga BBM tidak melulu berdampak negatif. Riset Bahana Sekuritas menyebut kenaikan harga BBM akan menciptakan kepastian di pasar. Tidak ada lagi yang menebak-nebak.
"Banyak pelaku pasar memperkirakan jikalau ada koreksi di pasar akibat kenaikan harga BBM, sifatnya hanya sementara. Kebijakan ini memang akan mendongkrak inflasi, mengerek suku bunga, dan memukul konsumsi dalam jangka pendek. Namun kebijakan ini akan menghapus ketidakpastian yang membuat investor lebih berani masuk ke aset-aset berbasis rupiah," papar riset Bahana.
Meski inflasi Indonesia bisa menyentuh kisaran 6-7%, lanjut riset Bahana, aksi jual terhadap aset-aset keuangan akan terbatas. Sebab, bagaimanapun inflasi Indonesia masih di bawah negara-negara lain. Di Inggris, misalnya, inflasi mencapai 10,1% pada Juli 2022.
"Kami melihat kenaikan harga BBM menjadi faktor krusial untuk kembali menarik minat investor," sebut riset Bahana.
TIM RISET CNBC INDONESIA