Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan harga BBM selalu menjadi isu panas di Indonesia. Tidak hanya mengundang protes keras dan demonstrasi, kenaikan harga BBM pernah memakan korban jiwa di era Presiden Soeharto.
Indonesia memberlakukan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak 1962 ketika masih berstatus net-eksportir dan tergabung dalam anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Selama puluhan tahun, persoalan subsidi BBM selalu menjadi perdebatan. BBM bukan lagi menjadi persoalan ekonomi semata tetapi juga komoditas politik.
Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto pernah beberapa kali menaikkan harga BBM, di antaranya pada 1979,1982, 1991, 1993, dan 1998.
Dilansir dari Jurnal Ekonomi Pembangunan pada Desember 2013 berjudul Pengaruh Harga BBM terhadap Tingkat Inflasi pada April 1979 pemerintah menetapkan harga Premium dan Solar masing-masing menjadi Rp 100 per liter dan Rp 35 per liter. Bila dibandingkan dengan harga kedua komoditi itu pada bulan April 1975, maka masing-masing meningkat sebesar 75,43% dan 59,09%.
Harga BBM pada Mei 1980 juga kembali dinaikkan sekitar 50%. Pada 1991, harga BBM naik dari Rp 150 menjadi Rp 550 per liter. Harga BBM Premium kembali naik pada 1993 menjadi Rp 700 per liter.
Pada periode Orde Baru, kenaikan harga BBM diumumkan pada malam hari sebelum harga baru resmi berlaku keesokan harinya. Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan harga BBM yang terjadi pada Mei 1998 menimbulkan protes keras dari mahasiswa. Pada 4 Mei 1998, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 71,4% untuk Premium dan 57,89% untuk Solar.
Kenaikan tersebut mengikuti saran Dana Moneter Internasional (IMF) yang memberikan utang ke Indonesia. Kenaikan harga BBM diprotes karena dianggap semakin membebani derita masyarakat Indonesia yang saat itu tengah dihantam Krisis Moneter.
Pada 12 Mei 1998, aksi protes mahasiswa yang menentang BBM berakhir rusuh. Empat mahasiswa Universitas Trisakti bahkan tertembak dalam aksi tersebut. Kejadian tersebut langsung menyulut kerusuhan masal hingga jatuhnya kepemimpinan Soeharto.
Di awall Era Reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri juga pernah menaikkan harga BBM. Gus Dur menaikkan harga BBM pada Oktober 2000 dan Juni 2001 sementara Megawati menaikkan dua kali yakni pada Maret 2002 dan Januari 2003.
Rencana kenaikan selalu disertai dengan aksi demo mahasiswa hingga pengemudi angkutan umum dan masyarakat. Tidak hanya di Jakarta, aksi demo bahkan tersebar di beberapa wilayah.
Pada Maret 2001, Gus Dur bahka sempat menunda kenaikan harga BBM karena kondisi politik dan ekonomi yang tidak memungkinkan. Keputusan diambil setelah aksi demo terus meluas.
Kondisi ekonomi dan politik Indonesia mulai stabil di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, kenaikan BBM tetap menjadi isu panas meskipun beban anggaran terus terbebani akibat pembengkakan subsidi.
Pada masa SBY, kenaikan harga BBM biasanya diajukan ke DPR melalui perubahan APBN. Selama dua periode masa pemerintahannya (2004-2014), SBY menaikkan harga BBM empat kali dan menurunkannya sebanyak tiga kali.
Kenaikan terjadi pada Maret dan Oktober 2005, Mei 2008, dan Juni 2013. Pada Maret 2012, pemerintah juga sebenarnya mengajukan kenaikan BBM melalui APBN-Perubahan (APBN-P) tetapi aksi protes dan DPR menolaknya.
Penolakan tersebut diwarnai aksi boikot dan alotnya sidang paripurna. Pada 31 Maret 2012, sidang paripurna sampai ditunda berkali-kali karena tidak semua fraksi menerima usulan Rancangan APBN-P. Sidang paripurna berlangsung dari pukul 10.00 pagi hingga berakhir pada dini hari tanggal 1 April 2012.
Gedung DPR pada saat itu juga dikepung oleh mahasiswa dan masyarakat yang melakukan aksi penolakan. Sidang paripurna sampai melalui sejumlah break dan skors selama enam jam.
Paripurna akhirnya diputuskan melalui voting. Dari 560 suara di DPR, sebanyak 356 suara memilih opsi kenaikan dengan persyaratan deviasi sementara 82 suara tetap menolak.
Rapat paripurna berakhir dengan keputusan bahwa kenaikan harga BBM dilakukan setelah dengan persyaratan adanya deviasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) rata-rata sebesar 15% selama enam bulan. Persyaratan tersebut sebenarnya menyulitkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM karena harga ICP sulit melewati deviasi 15% sepanjang tahun 2012.
Pada 2013, pemerintah mengajukan APBN-P kembali di tengah lonjakan harga minyak. Berbeda dengan tahun 2012 di mana DPR memiliki kewenangan penuh untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada APBN-P 2013, DPR hanya berwenang untuk mensyahkan pengajuan anggaran kompensasi sebagai bagian dari rencana kenaikan harga BBM. Wewenang untuk menaikkan harga tetap berada di tangan pemerintah.
Harga BBM akhirnya dinaikkan pada Juni 2013. Harga premium naik sebesar R p2.000 per liter dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter sementara harga solar sebesar Rp 1.000 per liter dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter.
Sebulan setelah dilantik, Presiden Joko Widodo langsung menaikkan harga BBM subsidi pada 18 November 2014. Harga BBM rata-rata dinaikkan 33,57%.
Pengumuman kenaikan tersebut bisa dikatakan mulus dan tidak menimbulkan banyak kontra. Narasi kenaikan harga BBM lebih didasarkan pada kebutuhan presiden baru untuk membiayai infrastruktur dan kebutuhan penting lain seperti pendidikan dan bantuan sosial.
Sejak 1 Januari 2015, pemerintah juga tidak lagi menanggung subsidi BBM Premium. BBM yang disubsidi hanya Solar dan minyak tanah. Penentuan harga premium sejak 2015 mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu tetapi harga BBM tetap ditetapkan pemerintah. Langkah Jokowi tersebut banyak dipuji oleh sejumlah lembaga internasional dan dianggap sebagai sebuah reformasi penting di sektor energi.
Sebagai catatan, sebelum 2015, pemerintah menanggung subsidi harga dengan menetapkan harga BBM pada level tertentu. Pemerintah mengkompensasi selisih dengan harga subsidi BBM melalui anggaran subsidi. Anggaran subsidi sendiri ditetapkan dengan menghitung ICP, kurs rupiah, serta volume.
Sejak 2016, pemerintah tidak perlu lagi mengajukan kenaikan subsidi BBM jika terjadi pembengkakan anggaran atau hendak menaikkan harga BBM subsidi. Sesuai pasal yang berlaku, anggaran untuk program pengelolaan subsidi dapat disesuaikan dengan kebutuhan realsiasi pada tahun anggaran berdasarkan perubahan parameter, realsiasi ICP, dan nilai tukar.
Anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, perubahan parameter, perubahan kebijakan, dan/atau pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya.
Namun, hampir delapan tahun setelah kenaikan pada 2014 lalu, subsidi belum lepas dari beban anggaran. Meskipun penentuan harga Premium mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu tetapi harga BBM tetap ditetapkan pemerintah.
Dengan harga yang masih ditetapkan maka Pertamina sebagai distributor BBM tidak bisa menetapkan harga sesuai harga pasar terkini. Kondisi tersebut bisa membebani Pertamina sebagai distributor BBM yang ditunjuk pemerintah.
Pada akhir Maret lalu, pemerintah menetapkan Pertalite sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) sehingga harganya disubsidi. Pertalite merupakan BBM yang paling banyak dipakai masyarakat saat ini sehingga lonjakan harga minyak mentah ikut membebani APBN karena selisih harga yang ditanggung pemerintah semakin besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA