Harga Pertalite Naik Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi! Asal...
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih jadi perbincangan hangat. Bahkan publik memperkirakan harga BBM jenis Pertalite dan minyak diesel alias Solar subsidi akan terjadi pada 1 September 2022.
Pemerintah telah berkali-kali memberikan 'kode keras', karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan program bantuan sosial (bansos) tambahan dimulai pada hari ini.
Bansos ini dinilai sebagai bentuk kompensasi dalam rangka meringankan beban masyarakat miskin yang terdampak dari kenaikan harga BBM. Artinya, kenaikan tersebut akan terwujud dalam waktu dekat.
Rencana kenaikan harga BBM sudah menyeruak sejak beberapa hari terakhir. Pemerintah juga berkali-kali mengeluhkan beratnya beban subsidi yang mencapai Rp 502 triliun. Dalam berapa waktu terakhir, sinyal kenaikan harga BBM terus berhembus kencang.
Jenis Bahan Bakar | Harga Seharusnya/ Liter | Harga Jual Ecer/Liter | Selisih Harga | Besaran Subsidi (%) |
Solar | Rp 13.950 | Rp 5.150 | Rp 8.800 | 63,1% |
Pertalite | Rp 14.450 | Rp 7.650 | Rp 6.800 | 47,1% |
Pertamax | Rp 17.300 | Rp 12.500 | Rp 4.800 | 27,7% |
LPG 3kg | Rp 18.500 | Rp 4.250 | Rp 14.250 | 77% |
Sumber : Kementerian Keuangan
Total subsidi dan kompensasi berdasarkan Perpres 98/2022 nilainya mencapai Rp 502,4 triliun. Nilai ini naik tiga kali lipat lebih dari subsidi dan kompensasi berdasarkan APBN 2022 awal yang hanya sebesar Rp 152,5 triliun.
Terus bergejolaknya harga minyak dunia mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan skema subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Benar saja, harga minyak dunia yang melonjak sepanjang semester pertama 2022 telah mulai menunjukkan penurunan sejak Juni lalu.
Saat ini minyak jenis Brent maupun WTI telah menunjukkan tren penurunan. Pada Rabu (31/8/2022) harga minyak jenis brent berada di US$ 96,49/barel. Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 89,55/barel.
Mengutip dari Trade and Industry brief LPEM FEB UI, harga minyak Brent untuk kontrak Oktober pada 18 Agustus lalu berada pada USD 96,59/barel, atau penurunan sebesar 18,39% dibandingkan dengan harga puncak pada Juni yang mencapai USD 118,36/barel.
Adapun harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak September berada pada USD 90,50/barel, atau penurunan 22,98% dibandingkan dengan harga puncak bulan Juni lalu.
Lonjakan harga minyak pada Maret lalu sedikit diredam dengan fakta bahwa minyak Rusia tidak sepenuhnya hilang dari pasar, melainkan diekspor dengan harga diskon ke negara lain yang tidak melakukan embargo. Selain itu, Amerika Serikat (AS) juga telah meningkatkan pasokan minyak dari cadangan mereka sebesar 1 juta barel per hari sejak Maret lalu.
Oleh karena itu, perhitungan bengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis Solar dan Pertalite harus diperhitungkan dan bisa memberikan penjelasan yang komplit mengenai evaluasi dan perubahan yang terjadi dari sisi APBN.
Pemerintah memperkirakan bahwa setiap kenaikan USD 1/barel pada harga Indonesian Crude Price (ICP) akan diikuti kenaikan subsidi LPG sebesar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah Rp 49 milyar, dan beban kompensasi BBM sebesar Rp 2,65 triliun.
Dalam analisis sensitivitas RAPBN 2023 diperkirakan bahwa untuk setiap kenaikan harga minyak sebesar USD 1/barel, terdapat kenaikan defisit APBN sebesar Rp 5,8 triliun.
Semakin meningginya harga minyak dunia membuat teka teki persoalan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar kini mulai terkuak.
Sejalan aktivitas ekonomi yang makin pulih dan mobilitas yang meningkat, kuota volume BBM bersubsidi yang dianggarkan dalam APBN 2022 diperkirakan akan habis pada Oktober 2022. Jika harga BBM & LPG tidak naik atau subsidi tidak dikurangi nilainya mencapai Rp 698 triliun, atau kurang Rp 195,6 triliun dari perkiraan awal.
(aum/aum)