Harga Pertalite Belum Naik, Kabar Buruk atau Kabar Baik?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 September 2022 06:15
Warga antre mengisi Bahan Bakar Minya (BBM) jenis Pertalite di SPBU Kuningan, Jakarta, Rabu (31/8/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Warga antre mengisi Bahan Bakar Minya (BBM) jenis Pertalite di SPBU Kuningan, Jakarta, Rabu (31/8/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi semakin panas. Bahkan disebut-sebut kebijakan itu akan terwujud dalam waktu dekat.

Publik memperkirakan harga BBM jenis Pertalite dan minyak diesel alias Solar subsidi akan terjadi pada 1 September 2022. Petunjuk ke arah sana begitu kuat, karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan program bantuan sosial (bansos) tambahan dimulai pada tanggal tersebut.

Well, bansos tambahan itu dinilai sebagai bentuk kompensasi untuk meringankan beban masyarakat miskin yang terdampak kenaikan harga BBM. Jadi memang tidak salah jika harga BBM ditengarai akan naik pada 1 September 2022.

Namun sejauh ini, ternyata harga belum naik. Pertalite masih dibanderol Rp 7.650/liter dan Solar Rp 5.150/liter. Drama harga BBM masih berlanjut, belum tuntas.

Satu hal yang jelas, sepertinya kenaikan harga BBM sudah tidak bisa dibendung lagi. Pertanyaannya adalah kapan, bukan soal naik atau tidak. Tinggal masalah waktu.

Kalau kenaikan harga terus ditunda-tunda, seperti apa dampaknya? Apakah akan menimbulkan ketidakpastian sehingga berefek negatif?

Semakin lama kenaikan harga BBM ditunda, maka ekspektasi inflasi akan semakin tinggi. Rakyat sepertinya sudah tahu harga BBM bakal naik, tinggal urusan waktu. Jadi sudah ada ekspektasi harga-harga barang dan jasa akan ikut naik, meski harga BBM belum naik.

Mengutip hasil Survei Konsumen keluaran Bank Indonesia (BI), responden memperkirakan tekanan inflasi pada September dan Desember 2022 (tiga dan enam bulan yang akan datang) meningkat. Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) September dan Desember masing-masing tercatat sebesar 137,5 dan 138,5, atau meningkat dibandingkan 127,5 dan 132,1 pada bulan sebelumnya.

Kalau harga BBM belum naik tetapi harga barang dan jasa lain sudah naik karena ekspektasi harga BBM bakal naik, maka itu adalah sebuah kesia-siaan. Inflasi tetap akan tinggi, meski harga BBM belum naik. Sungguh periode yang seakan buang-buang waktu.

Akan tetapi di sisi lain, harga BBM yang belum naik tentu membawa berkah. Inflasi mungkin tetap akan tinggi karena ekspektasi inflasi yang tinggi, tetapi sepertinya tidak setinggi kalau harga BBM benar-benar sudah naik.

Inflasi yang terjaga adalah kunci untuk mempertahankan konsumsi rumah tangga. Jangan lupa, komponen ini adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Saat konsumsi tumbuh, maka ekonomi Indonesia secara keseluruhan tentu akan tumbuh.

Di pasar keuangan, inflasi yang terjaga tetap rendah (karena harga BBM belum naik) juga akan berdampak positif bagi bursa saham. Maklum, inflasi adalah 'musuh' bagi pasar saham karena inflasi dekat dengan suku bunga tinggi.

Ketika inflasi meninggi, maka bank sentral akan bereaksi dengan mengetatkan kebijakan moneter. Salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan, sesuatu yang sudah terjadi di Indonesia.

Namun kalau harga BBM tak kunjung naik, maka ada harapan BI tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Ini tentu menjadi kabar baik bagi emiten di pasar modal.

Pasalnya, suku bunga tinggi akan ikut mendongrak biaya ekspansi emiten, karena sebagian pendanaan ekspansi datang dari pembiayaan perbankan. Saat biaya ekspansi makin mahal, maka laba emiten akan tergerus.

Sebaliknya kalau suku bunga tetap rendah maka biaya ekspansi itu bisa tetap terjaga rendah. Laba emiten bisa meningkat dan investor boleh berharap akan pembagian dividen.

Emiten yang perlu dicermati jika harga BBM tidak kunjung naik adalah barang konsumsi (consumer goods). Kalau harga BBM naik, maka emiten ini cenderung tertekan karena ada ekspektasi konsumen akan mengurangi konsumsi gara-gara harga bensin yang mahal.

Beberapa saham barang konsumsi terlihat tertekan belakangan ini. Pada 30-31 Agustus 2022, saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) anjlok masing-masing 1,41% dan 4,87%.

Saham PT Mayora Indah Tbk (MYOR) malah ambles tiga hari beruntun. Dalam tiga hari tersebut, saham MYOR turun 3,22%.

Kalau harga BBM belum naik juga, maka ada harapan konsumen akan tetap berbelanja. Ini tentu menjadi sentimen positif buat saham-saham emiten barang konsumsi.

Akan tetapi kalau harga BBM naik, bukan berarti tidak bisa berburu cuan di pasar saham. Emiten-emiten perbankan layak dipantau.

Ketika harga BBM naik, maka inflasi akan terangkat dan BI bisa lebih agresif menaikkan suku bunga acuan. Pada saatnya, suku bunga di level perbankan akan naik sehingga laba bank menggemuk.

"Secara umum, emiten sector finansial (terutama perbankan) akan kuat pada periode inflasi dan suku bunga tinggi. Sebab, ini adalah indikator bahwa ekonomi cukup kuat," sebut riset Mirae Asset.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Harga Bensin Indonesia Bikin Raisa Nyebut, Tapi Masih Murah!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular