Dilema Harga BBM: Mahal Salah, Murah Bikin Masalah!

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
26 August 2022 09:15
Infografis, Jokowi Ngamuk Lagi, Sebut Bodoh hingga Larang Tepuk Tangan
Foto: Infografis/ Sebut Bodoh hingga Larang Tepuk Tangan/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Dilema. Mungkin ini adalah salah satu kata yang tepat dalam menggambarkan situasi pemerintah dalam menentukan kebijakan terkait harga bahan bakar minyak (BBM).

Kenaikan harga minyak mentah dunia yang berada di level US$ 100 per barel telah 'memaksa' PT Pertamina melakukan penyesuaian harga. Bahkan harga tiga jenis bensin non-subsidi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex kini sudah naik.

Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga bensin non-subsidi menjadi tak terhindarkan. Namun bagi bensin yang selama ini disubsidi pemerintah seperti Pertalite dan Solar, hal ini menjadi kabar buruk yang tentu mengancam kas keuangan negara.

Selama ini, pemerintah bersikukuh untuk tetap mempertahankan harga bensin subsidi jauh di bawah harga keekonomian. Tujuannya tentu untuk menjaga daya beli masyarakat yang saat ini belum benar-benar pulih, di tengah ketidakpastian dunia yang masih terjadi.

Namun, bukan berarti tak ada yang dikorbankan pemerintah dengan mengambil keputusan tersebut. Subsidi energi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) membengkak hingga Rp 502,4 triliun, bahkan ada potensi pembengkakan hingga Rp 700 triliun.

"Kalau harga minyak terus naik, maka kita perkirakan subsidi itu harus nambah lagi bahkan bisa mencapai Rp 196 triliun, di atas Rp 502 triliun. Subsidi naik mendekati Rp 700 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.

Kala harga BBM terutama bensin subsidi mengalami kenaikan, tentu akan terjadi gejolak di masyarakat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan pernah menceritakan saat memutuskan untuk menaikkan harga bensin di awal masa kepemimpinannya.

"Naik 10% saja demonya saya ingat. Demonya tiga bulan? Kalau naik 100% lebih, demonya berapa bulan," kata Jokowi saat memberikan pengarahan dalam Silatnas dan Ultah 19 Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat beberapa waktu lalu.

Namun di satu sisi, keputusan pemerintah untuk tetap mempertahankan harga BBM akan menyebabkan risiko fiskal. Apalagi jika belanja terus digenjot, sementara penerimaan tidak pernah mencapai target, maka tentu penarikan utang adalah jalan satu-satunya.

Satria Sambijantoro, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas mengemukakan, kenaikan harga BBM tentu akan berdampak pada perekonomian dan situasi politik di Tanah Air. Namun, keputusan untuk tidak mengerek harga juga berisiko pada pengelolaan anggaran.

"Potensi pembengkakan subsidi energi akan menimbulkan masalah bagi pengelolaan anggaran Indonesia," kata Satria.


Satria menilai, pemerintah memang masih memiliki ruang fiskal yang besar apabila tetap mempertahankan subsidi BBM. Namun, Satria mengingatkan bahwa tahun depan akan ada risiko dari pembengkakan subsidi energi pada tahun ini.

Menurut Satria, ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mengerek harga BBM. Pasalnya, pergerakan laju inflasi pada tiga bulan mendatang secara historis jauh lebih terkendali.

"Lebih baik karena momentum inflasi secara historis rendah di bulan Agustus, September, Oktober. Sebelum November, Desember," katanya.


(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masuk Tahun Politik, Akankah Harga BBM Naik Tahun Depan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular