Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) telah mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) terkait kebijakan terkait suku bunga acuan di mana untuk pertama kali sejak November 2018 Gubernur Perry Warjiyo dan rekan memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan. Kenaikan ini mematahkan ekspektasi pasar yang memperkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga.
Seperti diketahui, MH Tamrin memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Bank sentral Indonesia juga menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,0%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga acuan merupakan bagian dari langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi dan inflasi volatile food.
"(Kenaikan untuk) Memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat," tutur Perry, dalam konferensi pers, Selasa (23/8/2022).
Sebagai catatan, terakhir kali kubu MH Thamrin mengerek suku bunga acuan adalah pada November 2018 atau 44 bulan yang lalu. Saat itu, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 35 bps dari 5,75% menjadi 6,0% untuk mengantisipasi kebijakan ketat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Tingginya harga komoditas pangan dan energi global membuat inflasi diperkirakan akan meningkat pada bulan berikutnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi pada Juli menembus 4,94% (year on year/yoy).
Sebelumnya Indonesia bersama merupakan satu dari tiga ekonomi yang belum menaikkan suku bunga acuan sejak awal pandemi Covid-19 Dua negara lainnya adalah China dan Jepang.
Inflasi yang kian meninggi seakan menjadi 'momok' bagi negara-negara di dunia. Bahkan ketika Federal Reserve melakukan kenaikan suku bunga jumbo untuk mengatasi inflasi Bank Indonesia (BI) akhirnya ikut bergabung dengan menaikkan suku bunga acuannya.
Di saat Indonesia telah runtuh pertahanannya dalam mempertahankan suku bunga, bank sentral Rusia, China, dan Turki malah mengambil langkah sebaliknya.
1. Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR)
Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) malah mengambil kebijakan memangkas suku bunga guna memacu perekonomian. Kebijakan ini menjadi yang paling agresif di mana pemangkasan dilakukan setelah sebelumnya sempat mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5% pada Maret lalu.
Suku bunga terus dipangkas pada Juli 2022 sebesar 8% di mana pada bulan sebelumnya suku bunga masih besada di angka 9%.
Negara pimpinan Presiden Vladimir Putin ini. Mulai dari sanksi perdagangan, keuangan, hingga ke individual.
Dari sektor keuangan, setidaknya tujuh bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.
Selain akan memutus SWIFT dari Rusia, Amerika Serikat dan sekutunya juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri. Sebelum perang Rusia-Ukraina dimulai akhir Februari lalu, cadangan devisa Rusia mencapai US$ 643 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri.
Akibatnya, nilai tukar rubel yang jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah melawan dolar AS kemudian inflasi kembali meroket.
Langkah cepat CBR dan kebijakan capital control Presiden Vladimir Putin membalikkan keadaan. Rubel menguat dan diperdagangkan di kisaran RUB 61 per US$ atau menguat lebih dari 21% serta menjadi mata uang terbaik di dunia.
Dalam pengumuman kebijakan moneter yang dilakukan Kamis (26/5/2022), CBR memangkas suku bunga sebesar 300 basis poin, menyusul dua pemangkasan sebelumnya dengan besar yang sama.
"Berkat rubel yang menguat, inflasi menjadi turun lebih cepat dari yang kami perkirakan. Ini memungkinkan kami untuk menurunkan suku bunga tanpa memicu kenaikan inflasi yang baru," kata Nabiullina, sebagaimana dilansir Reuters.
Risiko inflasi yang mulai mereda tetapi perekonomian Rusia kini memasuki periode transformasi secara struktural dan perbankan membutuhkan dukungan modal.
2. Bank Sentral Turki (Central Bank of Republic Turkey/CBRT)
Bank sentral Turki (Central Bank of Republic Turkey/CBRT) juga mengambi langkah yang sama. Dengan inflasi yang nyaris menembus 80%, CBRT justru dipangkas sebesar 100 basis poin menjadi 13% pada pekan lalu.
Kebijakan ini tentunya berbeda dengan bank sentra lain dimana ketika inflasi meninggi, kenaikan suku bunga menjadi senjata untuk meredam inflasi tetapi CBRT kebalikannya. Namun hal ini dilakukan dengan alasan yang sama, untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, inflasi telah melonjak ke level tertinggi dalam 24 tahun sebesar 79,6% yoy pada Juli 2022.
Kebijakan tersebut bermula dari pandangan Presiden Recep Tayyip Erdogan jika suku bunga tinggi merupakan "biangnya setan". Erdogan mempercayai suku bunga tinggi malah akan memperburuk inflasi.
Banyak yang menyebut CBRT tidak punya independensi. Erdogan terus mengintruksikan suku bunga untuk dipangkas sejak tahun 2020 lalu. Gubernur CBRT yang tidak mengikuti instruksinya akan langsung dicopot.
"Jelas CBRT mendapat instruksi dari Presiden Erdogan, yang memiliki pandangan tidak lazim mengenai dasar "model ekonomi baru" dengan suku bunga rendah," kata Jason Tuvey, ekonom emerging market senior di Capital Economics di London.
Pemotongan suku bunga yang telah lama didesak oleh Erdogan itu juga telah menyebabkan suku bunga riil di teritori negatif dan telah mempercepat krisis biaya hidup untuk rumah tangga Turki. Analis pun menyatakan kecewa atas keputusan tersebut.
JPMorgan mengatakan dalam sebuah catatan langkah itu oportunistik, didorong oleh peningkatan cadangan devisa baru-baru ini di samping lingkungan global yang lemah dan kenaikan tajam dalam suku bunga pinjaman lokal yang membebani kegiatan ekonomi.
"Pada akhirnya akan mengarah pada pembalikan kebijakan atau penurunan ekonomi," kata catatan itu.
TIM RISET CNBC INDONESIA