Lapor Pak Jokowi! Ini Analisa 5 Ekonom Soal Kenaikan BBM

Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
22 August 2022 11:40
Presiden Joko Widodo (Jokowi) Saat Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022, Kamis (18/8/2022).
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) Saat Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2022, Kamis (18/8/2022). (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah digadang-gadang akan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp 10.000 per liter, atau meningkat Rp 2.350 dari posisi saat ini Rp 7.650 per liter.

Awalnya, rencana kenaikan harga tersebut diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Saat itu, dia mengungkapkan beban subsidi diproyeksikan membengkak hingga Rp600 triliun pada akhir tahun ini akibat tingginya harga energi.

Jika demikian, maka APBN 2022 tidak dapat menopang kenaikan harga yang terbilang cukup tinggi.

"Feeling saya sih harus kita siap-siap, kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," kata Bahlil beberapa waktu lalu.

Menjawab kasak kusuk kenaikan harga, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan bahwa Pertamina saat ini masih menunggu arahan dari pemerintah.

"Ya kita tunggu arahan dari Pemerintah," katanya dikutip dari detikcom, Minggu (21/8/2022).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah tengah menyusun skema penyesuaian harga untuk mengurangi beban subsidi. Menurutnya, pemerintah akan sangat berhati-hati dalam mengeksekusi kebijakan ini.

"Pemerintah masih menghitung beberapa skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. tapi untuk diketahui harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia," ujarnya (21/8/2022).

Untuk mengetahui apakah kebijakan kenaikan harga Pertalite tepat dilaksanakan di momen ini atau tidak, mari kita simak analisa dari lima ekonom terkait dengan isu yang tengah hangat tersebut.

1. Mohammad Faisal, CORE Indonesia

Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan untuk menaikkan harga Pertalite cukup menjadi dilema pemerintah, dimana jika harga dinaikkan sekitar Rp 2.000 per liter maka potensi kenaikan inflasi bisa 6-8%, dengan memperhitungkan dampaknya ke harga pangan.

"Sehingga dampaknya ke perekonomian jauh lebih berat, bebannya terhadap fiskal," ujar Fiasl dalam Profit CNBC Indonesia, Jumat (19/8/2022).

Namun, Faisal mengatakan pemerintah sebenarnya masih memiliki ruang fiskal untuk menghadapi kondisi ini.

Dari sisi fiskal, performa APBN hingga Juli 2022 tercatat masih surplus Rp73 triliun. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi tahun lalu yang sampai bulan Juli 2021 yang defisit Rp270 triliun. Sementara itu, prediksi Kemenkeu sampai dengan akhir tahun defisit APBN sebesar 3,94%, jauh di bawah target 4,5%.

"Jadi sebetulnya ada ruang, kalau tadi kita perlu tambalan," paparnya.

Berdasarkan perhitungannya, jika Pertalite naik, berarti pemerintah harus menyiapkan kuota tambahan untuk tiga bulan (Oktober - Desember) senilai Rp50 triliun - Rp80 triliun. Adapun, defisit 3,94% tahun ini diperkirakan setara dengan Rp732 triliun. Jika ditambah dengan subsidi tambahan Rp80 triliun, maka defisit APBN tahun ini bisa mencapai 4,1%.

Angka ini masih di bawah target pemerintah yang dipatok 4,5%.

"Dari sisi defisit bertambah, tetapi masih di bawah target dari defisit fiskal," tegasnya.

2. Bhima Yudhistira, CELIOS

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite harus dicermati baik-baik oleh pemerintah.

"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan [volatile food] hampir sentuh 11% secara tahunan per Juli 2022?," tegasnya, Senin (22/8/2022).

Tidak hanya itu, masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Sebagai contoh, sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain.

Tadinya kelompok ini bisa belanja baju, beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin.

"Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," ungkap Bhima.

Di sisi harga, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi.

"Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam."

3. Irman Faiz, Bank Danamon

Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Irman Faiz mengungkapkan bahwa anggaran pemerintah masih cukup menahan tekanan harga BBM hingga akhir September.

"Kemungkinan kenaikan tersebut juga dilakukan per 1 September atau Oktober," kata Irman, Senin (22/8/2022).

Mengenai kemampuan daya beli, Irman melihat kelompok menengah atas memang cukup kuat. Namun, dia khawatir dengan kelompok menegah bawah yang masih terindikasi vulnerable sehingga skema lain sperti perlinsos harus ditingkatkan dan ditujukan pada kalangan tersebut.

"Jika tidak akan menekan daya beli menengah bawah yang notabene baru mulai pulih juga," tambahnya.

Apabila inflasi melonjak di atas 8%, ekonomi Tanah Air dapat mengalami perlambatan konsumsi pada awal 2023.

"Namun, saya melihat dengan amunisi dana pihak ketiga menengah atas yang sangat solid, potensi perlambatan tersebut tidak akan dalam."

Menurutnya, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh di kisaran 4,5-5% pada 2023.

4. Juniman, Maybank Indonesia

Kepala Ekonom Maybank Indonesia Juniman menegaskan anggaran pemerintah masih cukup kuat untuk menambah subsidi BBM demi menjaga daya beli masyarakat dan proses pemulihan ekonomi nasional.

"Namun ke depannya, pemerintah juga harus mengantisipasi jika harga minyak terus naik yang berdampak beban subsidi BBM terus naik. Jika ini terjadi membuat kondisi fiskal kita juga dalam tekanan," tutur Juniman.

Dalam hitungan Maybank, setiap kenaikan harga BBM sebesar 10%, maka ada tambahan inflasi sebesar 0,7%. Kalau terjadi kenaikan harga BBM yang tinggi maka Bank Indonesia (BI) diperkirakan juga akan menaikkan suku bunga acuan untuk menahan lonjakkan inflasi.

Domino efek berikutnya dari kenaikkan harga BBM adalah membuat daya beli turun dan pada gilirannya pertumbuhan ekonomi akan melambat.

5. Putera Satria Sambijantoro, Bahana Sekuritas

Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro menilai Pertalite bisa dinaikkan secara terbatas. Pasalnya, kenaikan tidak boleh mengikuti sepenuhnya dari harga pasar karena akan memberatkan masyarakat.

Seperti diketahui, Pertalite merupakan BBM yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. Adapun, konsumsi Pertalite pada tahun lalu mencapai 23,29 juta kilo liter sementara harganya kini dibanderol Rp 7.650/liter

"BBM khususnya Pertalite seharusnya dinaikkan terbatas, namun tidak dilepas sepenuhnya pada harga pasar untuk mengendalikan inflasi domestik," ujar Satria.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wapres Buka Suara Soal Kenaikan Harga BBM, Simak Baik-baik!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular