Dalam RAPBN 2023, pemerintahan menargetkan belanja Rp3.041,7 triliun. Anggaran tersebut meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.230,0 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp811,7 triliun.
Sementara itu, Pemerintahan Presiden Joko Widodo - Ma'ruf Amin menargetkan pendapatan negara pada tahun 2023 sebesar Rp2.443,6 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.016,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp426,3 triliun.
Adapun, defisit anggaran tahun 2023 direncanakan sebesar 2,85% terhadap PDB atau Rp598,2 triliun.
Defisit anggaran tahun 2023 merupakan tahun pertama bagi Indonesia kembali ke defisit maksimal 3% terhadap PDB sesuai dengan aturan keuangan negara.
Salah satu fokus APBN 2023 adalah alokasi untuk subsidi, terutama subsidi energi yang mencapai Rp210,7 triliun. Anggaran subsidi ini ditetapkan di tengah spekulasi bahwa harga bensin bersubsidi, solar dan LPG mungkin akan naik pada bulan ini.
"Alokasi subsidi tahun 2023 dinaikkan menjadi Rp 297,2 triliun, di mana Rp 210,7 triliun [1,1% dari PDB] akan dialokasikan untuk energi," ungkap Ekonom DBS Bank Radhika Rao dalam catatan yang diterima oleh CNBC Indonesia.
Radhika melihat asumsi total pendapatan dalam RAPBN 2023 lebih kuat dari perkiraan 2022, sementara pengeluaran diperkirakan akan moderat.
"Seperti yang kami catat di sini, kinerja fiskal YTD 2022 menggembirakan, karena pendapatan diuntungkan dari penerimaan dan pemungutan pajak berbasis sumber daya yang kuat, sementara pengeluaran tertinggal," bebernya.
Defisit yang lebih rendah tahun depan sebesar 2,85% akan memiliki dampak yang bermanfaat pada kebutuhan pembiayaan. Adapun dengan pipa pasokan yang lebih kecil, defisit ini akan menjadi baik untuk pasar surat utang pemerintah.
Dalam Nota Keuangan, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan bahwa target pertumbuhan ekonomi tahun depan dipatok 5,3%. Sementara itu, inflasi tahun depan ditetapkan pada 3,3% dan imbal hasil obligasi 10 tahun pada 7,9%
Radhika menilai asumsi makro mencerminkan optimisme terhadap pertumbuhan, dengan inflasi yang akan mereda dari level yang berlaku, namun memberikan ruang bagi kondisi global yang tidak menentu.
2. Satria Sambijantoro (Bahana Sekuritas)
Dalam catatan terkait dengan RAPBN 2023, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan tim mengungkapkan defisit anggaran 2,9 persen dari PDB atau setara Rp598 triliun sangat dekat dengan ambang batas yang diizinkan secara hukum, yakni 3%.
Bahan melihat adanya beberapa risiko fiskal yang patut diperhitungkan, yakni pertumbuhan PDB di bawah ekspektasi atau pendapatan negara dari windfall harga komoditas yang bisa lebih rendah pada tahun depan.
"Faktanya, kami pikir sebagian besar asumsi makro di sini sangat optimistis dibandingkan dengan prospek suram yang dihadapi ekonomi global, yang saat ini diselimuti ketakutan stagflasi," tulis Satria dan tim.
Dari sisi anggaran, belanja modal pemerintah ditetapkan sebesar Rp392 triliun tahun depan. Artinya, anggaran infrastruktur pemerintah tidak tumbuh secara signifikan selama enam tahun terakhir.
Khusus pengembangan ibu kota baru (IKN), Kementerian Keuangan telah mengalokasikan Rp20,8 triliun pada anggaran infrastruktur 2023, naik dari alokasi Rp5,4 triliun tahun ini.
Anggaran bantuan sosial dianggarkan sebesar Rp479 triliun tahun depan. Satria menilai angka ini masih tinggi dibandingkan periode sebelum Covid-19.
Sementara itu, Satria menilai masih ada ruang fiskal yang lebih besar dari belanja kesehatan. Tahun depan, pemerintah mematok anggaran kesehatan Rp170 triliun.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa kartu kunci dari APBN di 2023 mendatang adalah subsidi energi yang ditetapkan sebesar Rp336.7 triliun, termasuk kompensasi untuk Pertamina dan PLN.
"Ini akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan Rp502,4 triliun tahun ini [dengan asumsi harga minyak rata-rata di US$90]. Karena subsidi energi turun 33% sementara asumsi harga minyak hanya ditetapkan 10% lebih rendah," papar Satria dan tim.
Dari analisa Bahana, APBN 2023 dipastikan telah memperhitungkan setidaknya 20% kenaikan harga bahan bakar Pertalite menjadi Rp9.200-9.500 per liter.
3. Irman Faiz (Bank Danamon)
Dalam RAPBN 2023, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 2.444 triliun, naik tipis dari atas perkiraan tahun ini. Dalam catatannya, Ekonom Bank Danamon mengungkapkan pertumbuhan tersebut terutama ditopang oleh penerimaan pajak, yang diperkirakan tumbuh sebesar 4,8% secara tahunan, sejalan dengan asumsi pertumbuhan PDB sebesar 5,3%.
Di sisi lain, target PNBP turun 16,6%, seiring dengan asumsi harga komoditas yang lebih rendah.
Dari sisi pengeluaran, dia melihat pemerintah menurunkan alokasi anggarannya sebesar 4,0% menjadi Rp 3.042.
"Namun alokasi untuk belanja non-kementerian, di mana subsidi dan kompensasi berada, tetap cukup besar," ungkapnya.
Alokasi anggaran untuk subsidi meningkat menjadi Rp297 triliun atau 4,4% lebih tinggi dari perkiraan tahun ini.
Irman mencatat sekitar 71% subsidi dialokasikan untuk subsidi energi. Menurutnya, hal ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk fleksibel dalam menjalankan perangkat fiskalnya sebagai shock absorber.
Sementara itu, penerbitan obligasi, sumber utama pembiayaan anggaran, ditargetkan sebesar Rp713 triliun atau cukup datar dibandingkan dengan outlook terakhir tahun ini sebesar Rp712 triliun.
"Dengan semua angka ini, kami percaya bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengejar pertumbuhan dan bersiap menghadapi ketidakstabilan," kata Irman.
Irman meyakini bahwa dampak pengetatan moneter global akan sepenuhnya menggigit tahun depan, yang juga akan menimbulkan risiko bagi prospek domestik.
Lebih lanjut, dia melihat risiko utama terletak pada asumsi PDB dan harga minyak
"Untuk harga minyak, kami telah melihatnya menembus US$100 per barel tahun ini dan dapat menambah beban anggaran jika asumsi tersebut tidak terwujud," tegasnya.
4. Josua Pardede (Bank Permata)
Secara keseluruhan, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai asumsi makro pemerintah dalam RAPBN 2023 cenderung optimistis. Pertumbuhan ekonomi dipatok tetap tinggi yakni 5,3%, ditengah kondisi perlambatan ekonomi global sebagai konsekuensi pengetatan kebijakan moneter global.
Kemudian, asumsi penurunan harga minyak yang dipatok pemerintah mengindikasikan normalisasi harga komoditas global pada tahun depan, maka kontribusi net ekspor pada PDB tahun depan juga diperkirakan akan menurun.
Selain itu, dia memandang asumsi inflasi pada RAPBN 2023 berada di level 3,3% cukup optimis dari proyeksi tahun ini yang berada di rentang 4,0-4,8%.
Kendati demikian, Josua mengingatkan risiko inflasi tetap tinggi pada tahun depan apabila ketidakpastian geopolitik baik dari Rusia-Ukraina dan China-Taiwan masih memanas hingga tahun depan sehingga masih akan mendorong potensi kenaikan harga energi dan pangan global serta berlanjutnya gangguan rantai pasokan global.
Sementara itu, terkait dengan asumsi nilai tukar rupiah dan yield SUN 10 tahun, Josua mengungkapkan nilainya cenderung konservatif dengan mempertimbangkan postur RAPBN 2023 yang mengindikasikan konsolidasi fiskal.
Senada dengan asumsi makro, postur RAPBN 2023 juga cenderung optimistis dan sekaligus realistis dimana penerimaan pajak diperkirakan tumbuh 4,8% dengan mempertimbangkan pertumbuhan PDB nominal yakni PDB riil ditambah dengan laju inflasi, yakni 8,6%.
Lalu, ekspektasi pertumbuhan pajak yang cenderung flat mengindikasikan bahwa pemerintah mengasumsikan bahwa windfall pajak dari commodity boom juga akan mengalami penurunan.
Di sisi belanja, belanja pemerintah tahun 2023 juga lebih rendah dimana pemerintah masih fokus pada prioritas pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan infrastruktur yang akan memiliki multiplier effect yang besar pada peningkatan produktivitas perekonomian kedepannya.
"Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan belanja subsidi energi kompensasi yang masih tetap tinggi serta peningkatan belanja pembayaran bunga utang pemerintah dan beberapa anggaran yang dialokasikan untuk IKN dan pemilu," kata Josua.
Dengan memperhatikan bahwa defisit APBN 2023 ditetapkan kisaran mendekati 3% terhadap PDB, Josua memandang pemerintah perlu mendorong produktivitas belanja dan menetapkan skala prioritas dalam alokasi belanja yang memiliki efek berganda bukan hanya dalam jangka pendek namun juga dalam jangka menengah-panjang.
5. Rully Arya Wisnubroto (Mirae Asset Sekuritas)
Ekonom Senior Mirae Rully Arya Wisnubroto menilai target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,3 persen pada tahun depan masih sejalan dengan proyeksi lembaganya.
"Kami percaya bahwa konsumsi rumah tangga akan meningkat akibat perbaikan dari mobilitas orang," kata Rully.
Secara fokus kebijakan, dia melihat RAPBN 2023 akan diarahkan untuk menekan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat. Di sisi lain, dia melihat belanja pemerintah akan lebih rendah dari tahun ini, karena adanya konsolidasi fiskal.
Dari sisi perdagangan, dia memperkirakan kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan PDB akan turun, sejalan dengan kondisi resesi global. Dengan sasaran inflasi 3,3 persen, Mirae melihat adanya potensi penurunan harga pangan global tahun depan.
"Kami lebih khawatir terkait dengan kondisi iklim yang tidak dapat diperkirakan serta harga minyak yang lebih tinggi dari perkiraan yang akan mendorong harga pangan dan energi naik," ungkap Rully.
Terkait dengan defisit fiskal yang ditetapkan 2,85% dari PDB, Rully berpandangan keseimbangan diperlukan untuk mengelola anggaran, sekaligus tetap menjaga pertumbuhan ekonomi.
"Untuk mencapai target, pendapatan dan belanja pemerintah untuk tahun 2023 ditetapkan masing-masing sebesar Rp2.443.6 triliun dan Rp3.041.7 triliun," paparnya.
Dia menambahkan penerimaan tahun 2023 yang lebih tinggi akan didukung oleh optimalisasi penerimaan pajak yang ditargetkan sebesar Rp2.016.9 triliun.
Mengenai pos belanja, anggaran subsidi pemerintah menjadi poin sentral RAPBN 2023 ini. Pasalnya, anggaran ini akan menjadi tameng untuk melindungi masyarakat dari laju inflasi.
Dengan anggaran subsidi sebesar Rp336,7 triliun, Rully mengingatkan adanya risiko kenaikan harga minyak, mempertimbangkan target inflasi sebesar 3,3 persen.
Secara keseluruhan, Rully melihat APBN 2023 akan menerima tantangan, termasuk kemungkinan adanya resesi global dan ketidakpastian geopolitik.