Pesta Bubar! Pemerintah Tak Bisa Lagi Kipas-kipas Duit

Maesaroh, CNBC Indonesia
15 August 2022 17:30
Kendaraaan mengiisi BBM di salah satu SPBU di Jakarta, Rabu (3/8/2022). (CNBC Indonesia/Adrean Kristianto)
Foto: Kendaraaan mengiisi BBM di salah satu SPBU di Jakarta, Rabu (3/8/2022). (CNBC Indonesia/Adrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tanda-tanda berakhirnya pesta harga komoditas semakin nyata. Indonesia pun tidak bisa berleha-leha lagi karena penerimaan negara sebagai penopang subsidi BBM diperkirakan akan menurun.

Harga komoditas melambung sejak perang Rusia-Ukraina. Sebagai eksportir besar untuk sejumlah komoditas seperti minyak sawit mentah (CPO), batu bara, hingga nikel, Indonesia pun mendapatkan keuntungan dari lonjakan harga tersebut.

Menyusul lonjakan harga komoditas, pemerintah diperkirakan bisa menambah penerimaan hingga Rp 420 triliun dari sektor perpajakan dan non-perpajakan pada tahun ini.

Penerimaan tersebut telah "dikembalikan" kepada rakyat dalam bentuk subsidi Pertalite dan solar serta tarif dasar listrik.
Dengan menggelontorkan subsidi hingga lebih dari Rp 502 triliun, pemerintah tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik dengan harapan inflasi dan daya beli masyarakat bisa terjaga.

Namun, hujan tidak akan berlangsung selamanya. Begitu juga pesta harga komoditas untuk Indonesia.

Setelah terbang sejak Maret lalu, harga komoditas mulai melandai. Lonjakan inflasi, perlambatan ekonomi, serta ancaman resesi membuat permintaan komoditas mulai menurun.

Badan Pusat Statistik (BPS) sudah memberi peringatan keras hari ini. Ekspor Indonesia melandai ekspor Indonesia pada Juli tercatat US$ 25,57 miliar, turun 2,20% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan salah satunya karena menyusutnya harga komoditas andalan Indonesia seperti CPO dan nikel.

"Perlu diwaspadai terkait adanya windfall komoditas yang menjadi andalan ekspor. Penurunan harga komoditas seperti CPO (menjadi) tanda berakhirnya windfall harga komoditas," tutur Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, dalam konferensi pers, Senin (15/8/2022).


Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan harga komoditas tahun depan akan relatif lebih rendah dibanding tahun ini seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi global.

"Harga batubara mungkin masih cukup tinggi dan ini bisa menopang penerimaan di APBN," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia.

Andry menjelaskan salah satu tantangan terbesar ke depan adalah harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia akan berdampak besar ke pos belanja subsidi mengingat Indonesia adalah net importir minyak.

Seperti diketahui, harga minyak mentah dunia memang sudah turun jauh dibandingkan posisi Maret 2022 tetapi harganya masih mendekati US$ 100 per barel.

"Setiap level di atas asumsi harga minyak pemerintah, US$100 per barel perlu diwaspadai tekanan kepada APBN. US$120 per barel pun sudah bisa menaikkan tambahan subsidi untuk Pertalite dengan signifikan," imbuhnya.


Merujuk data BPS, impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2022 menembus US$ 14,38 miliar atau naik 97,71%. Sementara itu, impor minyak mentah mencapai US$ 6,42 miliar atau melesat 62,38%.

Ekonom BCA David Sumual mengingatkan tantangan yang dihadapi pemerintah tahun depan tidak akan mudah.

Sejumlah kondisi akan membatasi gerak pemerintah mulai dari defisit anggaran yang ditetapkan maksimal 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), melandainya harga komoditas, hingga ketidakpastian global.

Seperti diketahui, pemerintah diizinkan untuk menetapkan batas defisit di atas 3% pada 2020-2022 sebagai bagian dari mitigasi dampak pandemi Covid-19.

David memperkirakan APBN 2023 masih cukup kuat untuk berperan sebagai shock absorber. Namun, ketidakpastian global bisa membuat harga energi kembali melonjak naik sehingga beban subsidi bertambah. Padahal, penerimaan negara kemungkinan tidak akan setinggi tahun ini.

Dia menambahkan pemerintah mungkin akan mengorbankan beberapa program prioritas untuk menopang pertumbuhan.

"Tantangannya cukup besar pada tahun 2023. Memang harus ada yang dikorbankan, karena melihat jangka menengah panjang. Bisa saja, proyek-proyek yang urgensinya kurang, ditunda dulu untuk menjaga stabilitas dan menimbang pertimbangan lain yang terkait subsidi tadi," tutur David, kepada CNBC Indonesia.

Besarnya beban subsidi BBM kembali menjadi pembicaraan setelah kuota BBM subsidi hampir jebol.

Tercatat, sampai pada Juli 2022 ini, konsumsi Pertalite sudah mencapai 16,8 juta KL dari kuota tahun ini yang ditetapkan sebanyak 23 juta KL. Artinya, kuota BBM Pertalite tersisa 6,2 juta KL lagi.

Kuota 23 juta KL Pertalite 2022 sama dengan realisasi konsumsi Pertalite pada 2021 sebesar 23,3 juta KL. Tentu saja menjadi tidak cukup karena aktivitas dan mobilitas Indonesia yang kian meningkat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengingatkan konsumsi Pertalite bisa 5-6 juta kilo liter lebih tinggi dibandingkan kuota jika konsumsinya tidak dikendalikan. Konsumsi akan merangkak naik tahun depan jika pengendalian tidak dilakukan.

"Tahun depan kalau tidak ada pengendalian konsumsi Pertalite bisa 30-31 juta kilo liter," tutur Fabby.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Subsidi Motor Listrik Rp6,5 Juta Salah Sasaran, Lho Kok Bisa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular