Diumumkan Besok, Seberapa Besar Peluang Indonesia Resesi?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Kamis, 04/08/2022 07:55 WIB
Foto: Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan ekonomi dunia sudah mulai terlihat jelas, membuat banyak negara khawatir akan adanya resesi. Dengan peningkatan suku bunga yang tinggi untuk mengatasi inflasi yang sudah terlanjur tinggi, terutama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.

Inflasi di AS sudah menyentuh 9,1%, Uni Eropa 8,6%, dan Inggris 9,1%. Kekhawatiran stagflasi, di mana pertumbuhan negatif dan inflasi tinggi juga terjadi.



Ekspektasi inflasi masih tinggi karena besarnya aliran dana ke pasar keuangan ketika suku bunga rendah berlangsung cukup lama, sejak krisis keuangan global 2008. Dana dalam jumlah besar ini harus ditarik oleh bank sentral di negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi.

Gangguan rantai pasok produksi dari pandemi Covid-19 juga tidak bisa diatasi dengan cepat. Pengaruhnya, modal mengalir kembali ke AS, menyebabkan mata uang, yang tidak saja di negara berkembang, tapi juga negara maju mengalami pelemahan atau depresiasi cukup besar.

Perkembangan ekonomi yang ada ini, berlanjut menghadapi kemungkinan resesi di negara maju.

Sejumlah lembaga internasional lewat laporan terkininya, mulai dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), hingga survei Bloomberg menunjukan kemungkinan Indonesia terhindar dari resesi sangat kecil.


Besok Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Benarkah Indonesia aman dari resesi?



Ekonom Senior Anny Ratnawati menjelaskan, Indonesia bisa terhindar dari resesi dengan menjaga kebijakan moneter, fiskal, konsumsi, serta mengarahkan bansos dan subsidi.

"Apakah Indonesia resesi, saya menangkap, peluang resesinya hanya 3%. Menurut saya aman, itu bisa dibaca dari datanya. Di 2022 ini APBN kita kan masih ekspansi, dan policy measure-nya sudah in place," jelas Anny kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (4/8/2022).

Belanja pemerintah lewat subsidi dan kompensasi energi dan listrik sebesar Rp 502 triliun, serta berbagai bantuan sosial lainnya seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan langsung tunai (BLT), kata Anny sangat mendukung daya beli masyarakat menengah ke bawah.

Kemudian, dari sisi disiplin APBN yang terus dijaga rendah defisitnya. Di tahun depan, defisit APBN ditargetkan harus kembali berada di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau tepatnya ditargetkan 2,85% terhadap PDB.

Pun, biasanya jelang tahun politik 2023-2024, belanja yang bukan dari pemerintah, baik itu belanja proses politik, hingga belanja masyarakat biasanya akan meningkat.



Menurut Anny yang harus jadi perhatian pemerintah ke depan adalah pergerakan harga komoditas, terutama minyak mentah dunia. Pemerintah kata Anny harus waspada jika harga minyak mentah dunia bergerak pada harga kisaran US$ 130 per barel.

"Harga minyak dunia antara US$ 128 sampai US$ 130 per barel. Sekarang pada kisaran US$ 98 sampai US$ 106 per barel. [...] Kalau naik ke level US$ 130 per barel, kita harus berhitung ulang, karena ini nanti dampaknya ke subsidi di dalam komponen APBN, terutama di subsidi BBM dan energi akan besar," jelas Anny.

Di tengah harga komoditas yang melonjak saat ini, Indonesia dapat berkah penerimaan negara dari pajak yang sangat menguntungkan.

Kementerian Keuangan mencatat total penerimaan pajak sepanjang Semester I-2022 mencapai Rp 868,3 triliun naik 55,7% dibandingkan penerimaan pajak negara di Semester I-2021 yang sebesar Rp 557,8 triliun.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan penerimaan perpajakan di tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1.784 triliun, dengan rasio perpajakan menyentuh 9,55% terhadap PDB.



Di dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.265 triliun. Kemudian melalui Perpres No 98/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, pemerintah merevisi penerimaan pajak tahun ini menjadi Rp 1.485 triliun.

Pun pada Semester I-2022, APBN tercatat surplus Rp 73,6 triliun atau setara 0,39% dari PDB. Kemenkeu mencatat, surplus APBN hingga akhir Juni 2022 terbilang sangat baik jika dibandingkan akhir Juni 2021 yang tercatat defisit Rp 283,1 triliun. Surplus itu ditopang oleh pendapatan negara yang tumbuh signifikan dibandingkan belanja negara.

"Blessingnya, kita sedang mengalami penerimaan pajak dan non pajak yang lain, sehingga surplus APBN terjadi sekarang. Ini situasi Indonesia saat ini," jelas Anny.

Ingin tahu bagaimana proyeksi sederet ekonomi di Indonesia, simak tulisan dari Tim Riset CNBC Indonesia berikut, dengan klik di sini!


(cap/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: APBN Mei 2025 Defisit Rp 21T, Menkeu Klaim Masih Kecil