
Tak Cuma AS, Suramnya China Juga Bikin Sri Mulyani Was-was

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi Amerika Serikat (AS) yang resmi dilanda resesi membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati cukup was-was. Tapi tak cuma itu, China kondisi perekonomiannya juga lebih buruk, sehingga ancam Indonesia.
"Apa hubungannya dengan kita lagi? AS, RRT, Eropa adalah negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi, kalau mereka melemah, permintaan ekspor turun dan harga komoditas turun," kata Sri Mulyani saat memberikan sambutan pada Dies Natalis Ke-7 PKN STAN, Jumat (29/7/2022).
Pertumbuhan ekonomi China melambat pada kuartal II-2022. Kenaikan produk domestik bruto (PDB) secara tahunan (year-on-year/yoy) pada triwulan kedua hanya sebesar 0,4%.
Berdasarkan data Biro Statistik China, pertumbuhan PDB tersebut jauh di bawah pertumbuhan pada kuartal I/2022 yang mencapai 4,8%. Catatan itu juga jauh di bawah konsensus pasar sebesar 1%.
Adapun, angka itu juga menjadi yang terendah sejak kontraksi sebesar 6,8% pada kuartal I-2020 akibat meledaknya kasus Covid-19 yang memaksa pemerintah memberlakukan lockdown.
Sejauh ini Indonesia masih dalam tren yang baik dalam pemulihan ekonomi. Pertumbuhan pada 2022 diperkirakan di sekitar 5% atau lebih tinggi dari posisi tahun lalu yang sebesar 3,7%.
Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juni 2022 tercatat inflasi sebesar 0,61% (mtm). Secara tahunan, inflasi IHK Juni 2022 tercatat 4,35% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,55% (yoy). Akhir tahun inflasi diperkirakan 3,5-4,5%.
Inflasi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya. Hal ini dikarenakan pemerintah menahan harga energi lewat subsidi sebesar Rp 520 triliun.
Transaksi berjalan triwulan II 2022 diprakirakan mencatat surplus, lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus pada triwulan sebelumnya, terutama didukung oleh kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas, sejalan dengan masih tingginya harga komoditas global.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2022 tercatat sebesar 136,4 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Kita tahu situasi masih cair dan dinamis. Berbagai kemungkinan bisa terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging, termasuk Indonesia, dan bisa mempengaruhi nilai tukar, suku bunga, dan inflasi di Indonesia," kata Sri Mulyani lagi.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani: Ekonomi RI Semester I-2023 Diperkirakan 5-5,2%