Jokowi Ketemu Xi Jinping, Indonesia-China Makin Mesra?

Maesaroh, CNBC Indonesia
26 July 2022 13:44
Infografis/ Jokowi Mau RI untung Dagang Sama China! Gimana caranya Pak? / Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Jokowi Mau RI untung Dagang Sama China! Gimana caranya Pak? / Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan ekonomi China dan Indonesia berkembang pesat di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak hanya menjadi mitra perdagangan terbesar, China bahkan kini mengancam posisi Singapura sebagai raja investasi asing di Indonesia.

Kemesraan Jokowi dengan pemimpin China sudah terjalin sejak awal pemerintahannya. Pada 9 November 2014 atau belum genap sebulan dilantik jadi Presiden Indonesia, Jokowi sudah mengunjungi Beijing dan bertemu dengan Presiden Xi Jinping di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia atau Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut juga menggelar pertemuan dengan sekitar 300 pengusaha China saat berkunjung ke Beijing. Jokowi mengajak pengusaha Negeri Tirai Bambu untuk menanamkan modal di Indonesia serta meningkatkan volume perdagangan.

Setelah hampir delapan tahun berjalan, usaha Jokowi memang membuahkan hasil. China kini menjadi salah satu investor utama di Indonesia.

Pada 2013, total investasi China hanya menembus US$ 297 juta yang menempatkan mereka pada posisi 12 investor terbesar di Indonesia. Pada 2015, China naik ke peringkat ke-9 dengan investasi US$ 628 juta hingga mencapai posisi ketiga pada tahun 2017.

Investasi Negeri Panda sudah menembus US$ 3,2 miliar pada 2021 dengan jumlah proyek mencapai 1.806. Jumlah tersebut hanya kalah dari Singapura dan Hong Kong.

Investasi asing dari China melonjak hampir empat kali lipat pada kuartal II-2022 dan menembus US$ 2,3 miliar atau melonjak 260% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hanya kalah dari Singapura yang menggelontorkan investasi sebesar US$ 3,1 miliar pada kuartal II-2022.

Ekonom OCBC Wellian Wiranto mengatakan kunjungan Jokowi ke Beijing pada pekan ini bisa berdampak ganda. Selain akan mempererat hubungan kedua negara juga akan mempermudah langkah kerja sama dengan Jepang dan Korea Selatan. Menurutnya, kunjungan Jokowi ke Beijing adalah pengingat bagi Jepang dan Korea Selatan jika posisi Indonesia penting bagi mereka.

"Dengan kondisi dan hitungan geopolitik, Jokowi akan lebih mudah meyakinkan Jepang dan Korea Selatan untuk meningkatkan investasi mereka di Indonesia," tutur Wellian, dalam laporannya Northern Passage: Indonesia's President Jokowi visits North Asia with investments in mind



Bila menilik ke belakang, besarnya jalur investasi China di Indonesia sebenarnya sudah dibuka di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Adalah ambisi besar China melalui inisiatif Jalur Sutera dan Jalur Maritim Abad ke-21 atau "Belt and Road Initiative" yang dicanangkan Presiden Xi Jinping pada 2013 yang membuat investasi mereka meningkat pesat di ASEAN.

Xi berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden SBY pada awal Oktober 2013. Nilai komitmen kerja sama investasi senilai US$ 28,2 miliar atau sekitar Rp 420 triliun (kurs US$1= Rp 14.917) ditandatangani kedua negara. Kerja sama investasi meliputi sektor properti, pertambangan, bubur kertas, jalur kereta api, infrastruktur, hingga industri semen.

Investasi China semakin melonjak pesat di era Jokowi. Investasi tidak hanya menyasar smelter, industri, infrastruktur, dan pertambangan tetapi juga industri makanan.

Investasi China tidak hanya perusahaan besar dengan nilai puluhan triliun rupiah seperti Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou) yang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara atau Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL) yang mengembangkan baterai kendaraan listrik.

Perusahaan Yili Group juga telah menanamkan investasi sebesar Rp 2,5 triliun untuk membangun pabrik es krim terbesar di Indonesia.

Di sektor infrastruktur, China dan Indonesia juga bekerja sama membangun mega proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, dan Tol Medan-Kualanamu.

Sebelum dekade 2010-an, Jepang merupakan menjadi tujuan ekspor utama ataupun mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Perubahan besar terjadi sejak diluncurkannya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada 2004. Kesepakatan tersebut menghapus tarif untuk 94,6% dari semua jalur tarif untuk ekspor asal Indonesia ke China.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai perdagangan Indonesia-Jepang pada 2004 tercatat US$ 18,62 miliar di mana ekspor Indonesia mencapai US$ 15,96 miliar. Sementara itu, nilai perdagangan dengan China baru menembus US$ 12,24 miliar dengan nilai ekspor US$ 4,6 miliar.

 


Setelah ACFTA berlaku 10 tahun atau pada 2014 atau bertepatan dengan tahun terakhir kepemimpinan presiden SBY, nilai perdagangan Indonesia dan China melonjak menjadi US$ 48,23 miliar dengan ekspor sebesar US$ 17,61 miliar.  China menjadi pasar ekspor non-migas terbesar Indonesia sejak 2011. Pada tahun lalu, nilai perdagangan kedua negara bahkan menembus US$ 100 miliar untuk kali pertama dalam sejarah.

negara tujuan ekspor 2021Sumber: BPS


Sejak Jokowi memimpin hingga 2021, nilai perdagangan Indonesia-China meningkat dua kali lipat lebih, dari US$ 48,23 miliar pada 2014 menjadi US$ 109,99 miliar pada 2021. Ekspor Indonesia ke China melonjak dari US$ 17,61 miliar pada 2014 menjadi US$ 53,77 miliar pada 2021. Impor dari China juga melesat dari US$ 30,62 miliar pada 2014 menjadi US$ 53,8 miliar pada 2021.

Berdasarkan data BPS, ekspor China berkontribusi 23,3% terhadap total ekspor 2021. Komoditas utama yang dikirim ke China di antaranya batu bara, minyak kelapa sawit, besi baja, hingga bijih besi.

Impor Indonesia dari China yang menembus US$ 56,2 miliar pada 2021 mencakup 28,6% dari total impor Indonesia. Komoditas yang diimpor di antaranya mesin dan peralatan elektronik, pesawat telekomunikasi, mesin otomatis pengolah data, serta bahan obat-obatan dan kesehatan.

Meningkatnya nilai investasi ataupun nilai perdagangan Indonesia dan China bukan tanpa masalah. Investasi China kerap memicu kontroversi, terutama di bidang infrastruktur. Salah satunya terkait banyaknya tenaga kerja asing yang didatangkan dari China di proyek mereka.

Sorotan paling tajam terjadi pada 2020 lalu. Sekitar 2.600 pekerja China dilaporkan masuk ke Manado, Sulawesi Utara, pada Juni-September 2020. Padahal, pada periode tersebut Indonesia tengah memperketat kedatangan warga asing demi mengurangi penyebaran Covid-19.

Dari data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah tenaga kerja asing di Indonesia mengalami penurunan sepanjang dua tahun terakhir. Dimana pada 2021 hanya 88.271 orang dan 2020 hanya 93.761 orang. Sementara pada 2019 sebelum pandemi jumlah TKA mencapai 109.546 orang.

Dari negara asal data itu menunjukkan TKA di masih didominasi dari China sebanyak 37.711 atau setara 42% dari total. Disusul oleh Jepang 9.870 dan Korea Selatan 9.302 pekerja.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, mengingatkan masing-masing negara memiliki karakteristik dalam memberikan pinjaman.

"Kalau sama China itu gampang di depan, sulit di belakang. Kalau Jepang kan sulit di awal tetapi gampang di belakang. Ini kan soal keseimbangan, ekuilibrium. Apakah mau ambil China sepenuhnya atau setengahnya. Tinggal pemerintah mau yang mana," tutur Agus Pambagio, kepada CNBC Indonesia.

AidData mengatakan Indonesia memiliki utang tersembunyi dengan China terkait proyek infrastruktur senilai US$ 17 miliar. Indonesia juga dinilai memiliki risiko default karena China.

Namun, data Bank Indonesia menunjukkan utang China ke Indonesia mengalami penurunan. Pada Mei lalu, nilai utang Indonesia ke China sebesar US$ 21,779 miliar atau Rp 326,7 triliun, turun sekitar Rp 2,9 triliun dari sebelumnya. Dari total utang ke China, utang pemerintah hanya US$ 1,58 miliar, sementara utang swasta US$ 20,19 miliar.

Tak hanya investasi, hubungan dagang China dan Indonesia juga kerap disorot karena dinilai kurang adil. Besarnya defisit neraca perdagangan menjadi salah satu buktinya.

Sejak ACFTA ditandatangani pada 2004, defisit justru melebar dari US$ 3,03 miliar pada 2004 menjadi double digit pada periode 2014-2019. Pada 2018, defisit perdagangan kedua negara bahkan menembus US$ 18,41 miliar. Defisit menjadi menurun drastis sejak pandemi yakni menjadi US$ 7,85 miliar pada 2020 dan US$ 2,46 miliar pada 2021.

Defisit neraca perdagangan kemungkinan kembali membesar pada tahun ini. Sepanjang semester I-2022, ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 27,89 miliar sementara impor menembus US$ 32,08 miliar. Artinya, ada defisit sebesar US$ 4, 19 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular