
Urgensi Revisi UU Migas & Calon Ideal Pengganti SKK Migas

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah lama tak terdengar kabar Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas). Upaya perubahan aturan main soal migas di Indonesia ini sejatinya sudah digembor-gemborkan sejak 14 tahun lalu, namun tarik ulur perubahan ini membuat RUU Migas tak kunjung kelar.
Pemerintah dan DPR RI dinilai perlu merampungkan RUU Migas secepat kilat. Hal ini demi mencari lembaga definitif sebagai pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Mengingat, SKK Migas yang dibentuk sebagai pengganti BP Migas beberapa tahun yang lalu hanya mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres). Ketentuan tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Setidaknya terdapat tiga opsi atau model format kelembagaan pengelolaan hulu migas yang nantinya dapat diterapkan untuk menggantikan posisi SKK Migas saat ini. Pertama adalah ministry-dominated model yakni lembaga yang nantinya berada di bawah Kementerian. Kedua, Pertamina sebagai National Oil Company (NOC) Dominated model artinya lembaga tersebut di bawah Pertamina. Ketiga, independent body alias badan khusus independen yang memiliki mandat untuk melakukan pengusahaan industri hulu migas.
Lantas, mana dari tiga model tersebut yang kira-kira cukup ideal dapat menggantikan SKK Migas?
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai tidak ada formulasi yang ideal untuk mencari model kelembagaan pengganti SKK Migas. Pasalnya, semua bergantung pada situasi kondisi dan politik suatu negara.
Indonesia sendiri sebenarnya sudah menerapkan berbagai model kelembagaan seperti di atas. Misalnya melalui UU No 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, yang memberikan kewenangan cukup besar kepada Pertamina. Karena selain sebagai pengatur, Pertamina juga sebagai pelaksana usaha migas di Indonesia.
Selain itu, Indonesia sendiri juga sudah sempat menerapkan model independent body alias badan khusus independen yang memiliki mandat untuk melakukan pengusahaan industri hulu migas seperti apa yang ada di Norwegia. Salah satunya melalui pembentukan BP Migas.
"Jadi misalkan kayak di Malaysia diterapkan di Indonesia pernah sukses tapi perkembangannya direvisi. Apakah itu jamin sukses kembali, tentu kondisi sekarang berbeda dari jaman dulu. Apakah model Norwegia cocok? Kalau model Norwegia kan sebenarnya mirip mirip dengan BP Migas," ujar Komaidi kepada CNBC Indonesia, Jumat (22/7/2022).
Namun yang pasti, poin pentingnya saat ini adalah bagaimana pemerintah dan DPR segera menuntaskan Revisi UU Migas yang hingga kini masih jalan di tempat. Mengingat pembahasannya sudah berlangsung sejak 2008.
Menurut dia belum selesainya pembahasan RUU Migas membuat kepastian hukum di sektor hulu migas semakin tak jelas. Kondisi ini lantas akan berdampak pada iklim investasi para investor.
"Sudah 14 tahun lalu (Pembahasan). Berkontrak dengan lembaga yang sifatnya sementara kan tingkat kenyamanannya menjadi berkurang saya kira poin pentingnya itu. Apapun itu pesannya adalah silahkan segera diputuskan," ujar Komaidi.
Melihat dengan banyaknya temuan potensi blok migas belakangan ini seperti Andaman II seharusnya menjadi momentum tersendiri bagi Pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan Revisi UU Migas. Sehingga tingkat produksi migas secara nasional mengalami kenaikan.
"Coba bayangkan kalau produksi kisaran 1 juta barel windfall yang bisa kita nikmati berapa puluh sampai ratusan triliun. Ini yang saya kira perlu jadi faktor pendorong atau momentum pemerintah menyelesaikan RUU Migas ini. Kalau tidak diselesaikan khawatirnya nanti kondisi 10-15 tahun ke depan mirip mirip sekarang atau lebih buruk," ujarnya.
Komaidi sendiri menyadari masih terdapat banyak ganjalan mengenai proses penyelesaian Revisi UU Migas. Dimana masih terdapat tarik menarik di dalam menentukan siapa yang nantinya menjadi representasi dari pengelola hulu migas RI.
"Ketentuan yang lain sebenarnya sudah ok, sudah sepakat, tapi ketika sudah sampai ke level siapa nih lembaga yang jadi representasi sering kali berhenti di situ," ujarnya.