Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah indikator ekonomi menunjukkan Indonesia relatif aman dari ancaman resesi. Namun, Indonesia juga tidak bisa berleha-leha karena resesi global bisa merembet ke perekonomian domestik.
Sejumlah lembaga/institusi memperkirakan semakin banyak negara yang terancam resesi.
Nomura Holdings Inc memperkirakan Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Inggris, Jepang, Australia, dan Kanada diperkirakan akan mengalami resesi paling lambat dalam waktu dekat 12 bulan ke depan.
Sementara itu, laporan Bloomberg menyebut banyak negara mulai dari China, Korea Selatan, Jepang, Filipina, Thailand, Malaysia, hingga Selandia Baru dengan besaran potensi yang berbeda-beda. Berdasarkan laporan tersebut, potensi Indonesia masuk ke resesi ada di angka 3%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan indikator menunjukkan kinerja ekonomi masih membaik.
"Saya rasa seharusnya melihat saja faktual mengenai tadi background setiap negara sisi kinerja pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca pembayaran, kinerja APBN, kinerja kebijakan moneter, dilihat inflasi, nilai tukar rupiah dan korporasinya," tutur Sri Mulyani di sela-sela acara G20, Bali, Rabu (13/7/2022).
Data-data yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, maupun Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kondisi ekonomi Indonesia saat ini terbilang solid.
Namun, indikator yang solid pun belum jaminan. Pengalaman pada 2020-2021 menunjukkan perekonomian Indonesia yang solid juga bisa masuk ke jurang resesi saat pertumbuhan global lumpuh karena pandemi Covid-19.
Secara umum, resesi terjadi ketika ekonomi terkontraksi dua kuartal beruntun. Indonesia bergulat dengan resesi setelah perekonomiannya terkontraksi selama kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.
Lalu, bagaimanakah kondisi sejumlah indikator ekonomi Indonesia saat ini ?
1. Pertumbuhan ekonomi dan inflasi
Presiden Joko Widodo, pekan lalu, memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,1% pada kuartal II-2022. Jika proyeksi ini benar maka perekonomian Indonesia akan tumbuh di atas 5% selama tiga kuartal beruntun. Artinya, pertumbuhan ekonomi sudah kembali ke level historisnya di kisaran 5%.
Sebagai catatan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% (year on year/yoy) pada kuartal I-2022 dan 5,02% (yoy) pada kuartal IV-2021.
Sementara itu, inflasi Indonesia pada Juni juga melonjak menjadi 0,61% (month to month/mtm) dan 4,35% (yoy). Inflasi tahunan Indonesia menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017 atau lima tahun terakhir.
Meskipun melejit, Inflasi Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain atau negara tetangga seperti Singapura yang mencatatkan inflasi sebesar 5,6% pada Mei, Korea Selatan sebesar 6% pada Juni, Filipina sebesar 6,1% pada Juni, atau India (7,01% pada Juni).
2. Rasio utang terhadap PDB
Statistik utang luar negeri (ULN) yang dikeluarkan BI pada pekan lalu menunjukkan dari rasio ULN Indonesia- pemerintah dan swasta- terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Mei ada di kisaran 32,3%. Rasio tersebut sudah melandai dibandingkan pada Mei 2021 yang tercatat 37,6% dari PDB.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini ada di kisaran 38,3% dari PDB. Turun dibandingkan pada Desember 2021 yang menembus 41%.
Rasio utang pemerintah juga masih di bawah batas aman yang ditentukan oleh Undang-Undang (UU), yaitu maksimal sebesar 60% dari PDB.
Semakin menipisnya kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia juga memberi dampak positif karena tekanan eksternal semakin bisa diredam.
Porsi asing dalam kepemilikan SBN sudah jauh berkurang dari sekitar 39% pada akhir 2018 menjadi di kisaran 15% pada Juli 2022.
3. APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih mencatatkan surplus hingga Juni tahun ini.
Surplus APBN pada Juni tercatat Rp 73,59 triliun atau 0,39% dari PDB. Surplus ditopang oleh pendapatan negara yang menembus Rp 1.317,14 triliun pada semester I tahun ini.
APBN diperkirakan membukukan defisit sebesar Rp 732,25 triliun atau 3,92% dari PDB pada akhir tahun. Defisit akan lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam APBN 2022 sebesar 4,85% dari PDB. Artinya penarikan utang lebih kecil dari yang direncanakan.
4. Ekspor, Transaksi Berjalan, dan Neraca Pembayaran
Nilai ekspor pada Juni 2022 mencapai US$ 26,09 miliar. Nilai ekspor Juni adalah yang tertinggi ketiga sepanjang sejarah setelah April 2022 (US$ 27,32 miliar) serta Maret 2022 (US$ 26,50 miliar).
Secara keseluruhan, ekspor pada Januari-Juni atau semester I tahun ini tercatat US$ 141,07 miliar atau melonjak 37,11% dibandingkan periode yang sama sebelumnya.
Besarnya ekspor membuat surplus pada neraca perdagangan membengkak. Neraca perdagangan membukukan surplus sebesar US$ 5,09 miliar. Nilai tersebut menjadi tertinggi ketiga dalam sejarah setelah April 2022 (US$ 7,56 miliar) dan Oktober 2021 (US$ 5,79 miliar.
Besarnya surplus pada neraca perdagangan akan membantu kinerja transaksi berjalan. Transaksi berjalan masih membukukan surplus sebesar 0,07% dari PDB pada kuartal I-2022 dan diperkirakan masih mengalami surplus pada kuartal II. Namun, secara keseluruhan, transaksi berjalan akan mencatatkan defisit di kisaran 0,5%-1,3% dari PDB.
Namun, banyaknya arus modal asing yang keluar (capital outflow) membuat Neraca Pembayaran Indonesia masih membukukan defisit pada kuartal I-2022 sebesar US$ 1,8 miliar.
5. Nilai tukar rupiah
Nilai tukar rupiah pada pagi hari ini melemah ke posisi Rp. 14.985/US$ 1. Sepanjang tahun ini rupiah sudah melemah sekitar 4,9%. Pelemahan disebabkan oleh derasnya capital outflow.
Berdasarkan data transaksi 11 - 14 Juli 2022, investor asing di pasar keuangan domestik melakukan jual neto Rp 8,56 triliun. Dari awal tahun, capital outflow sudah menembus Rp 127,28 triliun.
Kendati rupiah melemah, kinerja mata uang Garuda masih lebih baik dibandingkan mata uang sejumlah negara. Rupee India sepanjang tahun ini sudah rontok 6,8% sementara ringgit Malaysia anjlok 6,4% dan bhat Thailand amblas 9,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA