Begini Pandangan Resesi dari 3 Wanita Berpengaruh di Dunia
Bali, CNBC Indonesia - Resesi ekonomi dunia kini menjadi pembahasan banyak pihak. Situasi yang mengerikan ini bukan lagi ancaman yang jauh di depan, melainkan sudah berada di depan mata.
Pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Minister Central Governance/FMCBG) kelompok negara G20 turut membahas persoalan ini. Mereka sepakat kalau harus ada solusi yang ditempuh.
Setidaknya ada tiga wanita berpengaruh di dunia yang lantang menyuarakan resesi. Antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Keuangan AS Janet Yellen dan Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
Kristalina Georgieva
Kristalina Georgieva, merupakan Direktur Pelaksana IMF. Suaranya begitu didengar oleh dunia. Terutama ketika dirinya mengeluarkan perkiraan ekonomi dunia.
Terkait persoalan saat ini, Kristalina beranggapan bahwa guncangan ekonomi yang terjadi saat ini sebenarnya diawali oleh pandemi Covid-19.
"Yang membuat ekonomi dunia terhenti dan mendorong kami ke dalam resesi, dan hal itu telah memicu respons kebijakan yang belum terjadi sebelumnya," jelas Georgieva dalam seminar bertajuk Macroeconomic Policy Mix For Stability and Economic Recovery di Bali akhir pekan lalu.
Pandemi belum usai, dunia kini juga dihadapkan adanya tensi geopolitik Rusia-Ukraina, yang menciptakan guncangan selanjutkan di saat pandemi Covid-19 belum berakhir.
Tensi geopolitik Rusia-Ukraina berimbas terhadap melonjaknya harga-harga komoditas dunia, dan mempercepat laju inflasi, hingga mendorong bank sentral harus mengambil langkah yang cepat untuk mengendalikannya, dengan melakukan normalisasi kebijakan moneter.
Di tengah tren suku bunga acuan negara bank sentral yang tajam, menjadi tantangan sendiri bagi negara berkembang yang memiliki tingkat utang dalam mata uang dollar menjadi sulit untuk dibayar.
"Mereka (negara berkembang) terkena pengetatan kondisi keuangan melalui kenaikan suku bunga, tapi mereka juga terkena apresiasi dollar yang sangat cepat, mempengaruhi perekonomian dunia.[...] Jadi ini adalah situasi yang sangat berbeda," ujar Georgieva.
Respons kebijakan yang tepat, kata Georgieva adalah sinkronisasi akomodasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Dua kebijakan itu harus dalam arah yang sama dalam memitigasi dampak dari guncangan yang terjadi.
"Hari ini adalah waktu yang jauh lebih sulit bagi para pembuat kebijakan. Karena kebijakan moneter harus diperketat, tapi kebijakan fiskal harus menyengga untuk kelompok masyarakat rentan dan dunia usaha. Mereka yang terkena dampak pengetatan kebijakan moneter ini," ujarnya.
Dengan kata lain, kata Georgieva saat ini, kebijakan moneter dan fiskal masih harus berjalan beriringan, namun saling bertentangan satu sama lain.
Artinya, jika kebijakan fiskal tidak dikalibrasi dengan tepat untuk memberikan dukungan yang tepat sasaran, dan jika tidak berlabuh dalam kerangka berkelanjutan dalam jangka menengah, dan tanpa diikuti kebijakan moneter yang tepat, "Hasilnya menciptakan lebih banyak tekanan untuk pengetatan kebijakan keuangan," jelas Georgieva.
Menurut Georgieva, kebijakan makroprudensial adalah aspek fundamental yang hanya dapat diatasi dengan reformasi struktural dengan bauran kebijakan atau policy mix yang tepat.
"Jadi kami memberikan kepada pengambil kebijakan, untuk bagaimana menerapkan kebijakan moneter dan fleksibilitas nilai tukar. Bersama-sama diperlukan manajemen yang tepat dalam mengatur capital flow," ujarnya.
Selama dua tahun ini, kata Georgieva, dunia menghadapi dua guncangan sekaligus. Ditambah juga adanya risiko krisis dari perubahan iklim.
"Saat ini kita akan lebih memiliki lebih banyak kejutan yang akan datang. Saya tidak tahu kapan, saya tidak tahu caranya, saya hanya tahu mereka akan ada di sana (krisis karena perubahan iklim). Jadi kita harus memikirkan policy mix yang tepat," tuturnya.
(mij/mij)