
Bos FAO Buka-bukaan Soal Krisis Pangan, Semengerikan Apa?

Bali, CNBC Indonesia - Direktur Jenderal (Dirjen) Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Qu Dongyu buka-bukaan terkait krisis pangan yang terjadi pasca perang Rusia di Ukraina sejak 24 Februari lalu.
Qu mengatakan baik Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama dan pengekspor bersih komoditas pertanian. Kedua negara ini juga memainkan peran utama dalam memasok pasar global dengan bahan makanan dan pupuk.
"Kedua negara termasuk di antara 10 pengekspor gandum, jagung, dan minyak bunga matahari teratas. Khususnya, untuk minyak bunga matahari, mereka adalah 2 eksportir teratas di dunia yang menguasai lebih dari 70% ekspor global," kata Qu dalam Seminar Tingkat Tinggi Penguatan Kolaborasi Global untuk Mengatasi Kerawanan Pangan di Bali, Jumat (15/7/2022).
Namun pecahnya perang Rusia di Ukraina telah memperparah situasi dunia, terutama bagi kaum miskin dan paling rentan.
"Sebelum perang terjadi, harga komoditas pangan internasional sudah tinggi. Indeks Harga Pangan FAO mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada Maret 2022, rata-rata 159,7 poin secara nominal, dan naik 34% dari tahun sebelumnya," jelas Qu.
"Sejak awal tahun 2020, indeks harga minyak nabati meningkat lebih dari dua kali lipat, serealia meningkat lebih dari 60% dan gula lebih dari 50%. Harga energi meningkat secara signifikan sejak pertengahan 2020, dan sebagai konsekuensinya, harga pupuk dunia juga meningkat."
Qu mengatakan, Rusia juga merupakan pemain kunci di pasar pupuk global. Akibat perang, tidak hanya harga pangan yang meningkat, harga input pertanian, termasuk pakan, pupuk, pestisida dan bahan bakar juga ikut melonjak.
Alhasil, kata Qu, fenomena ini menekan pendapatan petani, menyebabkan penurunan pendapatan yang besar, serta mengurangi insentif petani dan membahayakan panen di masa depan.
"Hal ini menempatkan beban ganda pada sistem pangan pertanian global: petani miskin dan kurangnya ketersediaan pangan. Pada tahun 2021, hingga 828 juta orang menderita kelaparan kronis. Kerawanan pangan yang parah meningkat di setiap wilayah di dunia pada tahun 2021," bebernya.
"Simulasi kami juga menunjukkan bahwa jumlah global yang kekurangan gizi pada tahun 2022 akan meningkat sebesar 7,6 juta orang akibat dampak konflik, dan ini bisa mencapai tambahan 19 juta orang pada tahun 2023."
Akibat fenomena ini, Qu mengatakan pihak-pihak terkait harus terus bekerja sama secara efisien, efektif dan koheren, untuk mempercepat transformasi sistem pertanian pangan dunia.
"Kerja sama dilakukan agar menjadi lebih efisien, lebih inklusif, lebih tangguh dan lebih berkelanjutan, untuk produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik bagi semua, tidak meninggalkan siapa pun," tutupnya.
(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mentan Sebut Pangan Global Sedang Tak Baik-Baik Saja