Jakarta, CNBC Indonesia - Harga sejumlah komoditas energi dan pangan mulai melandai. Melemahnya harga disebabkan kekhawatiran akan terjadinya resesi dan melemahnya permintaan.
Indeks harga pangan yang dirilis oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada Juni tahun ini tercatat 154,2, melandai 2,3% dibandingkan Mei. FAO Food Price Index sudah melemah tiga bulan beruntun. Kondisi ini berbanding terbalik pada Maret lalu di mana indeks terbang ke 159,7 dari 141,1 pada Februari.
FAO mencatat harga minyak nabati, sereal, dan gula turun. Sebaliknya, harga produk dairy dan daging meningkat. Penurunan tajam terjadi pada gandum. Harga gandum sudah anjlok 22,7% dalam sebulan menjadi US$ 811,50 per bushel. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada awal Maret atau saat perang Rusia vs Ukraina baru dimulai, yang hampir menyentuh US$ 1.300 per bushel.
Panen raya di sejumlah pusat produksi gandum seperti Kanada, produksi yang diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan, serta melemahnya permintaan global membuat harga gandum terus menurun. "Kekhawatiran akan melemahnya permintaan dan tanda tanda perlambatan ekonomi menambah tekanan kepada harga gandum," tulis FAO.
Harga kedelai sudah melemah 6,13% sebulan terakhir menjadi US$ 1.589 per bushel. Harganya sudah turun jauh dibandingkan pada pertengahan Juni yang ada di kisaran US$ 1.700 per bushel.
Harga minyak nabati seperti minyak sawit mentah (CPO) juga sudah jauh melandai. Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada pagi hari ini ada di posisi MYR 3.861/ton, terendah sejak 5 Juli 2021. Kondisi ini berbanding terbalik pada April di mana CPO masih diperdagangkan di kisaran MYR 6.000 per ton.
Harga CPO telah membalikkan keuntungan yang didapatnya di sepanjang tahun ini. Kini, harga CPO drop 7,48% secara year-on-year(yoy). Bahkan, secara bulanan harga CPO anjlok 31,75% dan ambles 6,74% di sepanjang pekan ini.
Analis Perkebunan CGS-CIMB Research Ivy Ng bahwa tren penurunan harga CPO disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang lamban dan ekspektasi pasokan minyak sawit yang lebih tinggi di semester II tahun ini. Ivy Ng menilai kelebihan pasokan CPO Indonesia dapat memakan waktu selama satu atau dua bulan ke depan untuk mereda, tergantung kebijakan pemerintah sebelum situasi di pasar nabati menjadi normal.
Harga kapas yang sempat melonjak juga melemah ke US% 94,25 per pon, level terendahnya dalam 42 pekan. Peningkatan produksi di Amerika Serikat serta melemahnya permintaan dari China dan Bangladesh membuat harga kapas semakin lemas.
Tak hanya komoditas pangan, Trading economics juga melaporkan penurunan harga signifikan untuk komoditas logam dan komoditas untuk sektor industri, mulai dari emas hingga baja. Harga emas sudah amblas 5,8% sebulan dan 5,6% setahun karena ekspektasi kenaikan suku bunga acuan di negara-negara maju.
Bijih besi juga amblas 20,51% sebulan dan 50,8% setahun karena melemahnya permintaan. Harga baja sudah menyusut 15,7% sebulan dan 20,6% setahun.
Komoditas yang dimanfaatkan untuk sektor industri juga terus melandai. Harga aluminum sudah anjlok 8,05% sebulan sementara nikel amblas 16,2% sebulan.
Harga nikel saat ini ada di kisaran US$ 21.094 per ton. Harga tersebut jauh di bawah yang diperdagangkan pada awal perang Rusia-Ukraina.
Harga nikel pada perdagangan 8 Maret sempat melonjak 250% mencapai US$ 101.350 per ton. Perdagangan nikel di bursa logam London, LME, bahkan harus ditangguhkan.
Edward Yardeni, Presiden Yardeni Research, mengatakan melandainya harga komoditas merupakan penanda awal dari menguatnya sentimen resesi. "Saat ini ada pelemahan pada harga komoditas. Ini bisa menjadi tanda bahwa perekonomian global telah melambat," tutur Yardeni, kepada Barron's.
Helima Croft dari RBC Capital Markets, menyampaikan hal yang sama. Resesi kini menjadi kekhawatiran global dan bisa membuat hard landing pada ekonomi.
"Ketakutan akan terjadinya resesi global menjadi isu yang paling penting saat ini, membuat isu inflasi mereda. Melandainya harga komoditas menjadi kekhawatiran baru karena bisa menjadi tanda hard landing ekonomi dan penurunan tajam pada permintaan," tuturnya.
Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects mengatakan lonjakan harga komoditas akan mereda setelah bank sentral di banyak negara mengetatkan kebijakan moneternya. Pengetatan kebijakan akan memperlambat pertumbuhan karena permintaan menurun.
Resesi yang terjadi pada periode sebelumnya seperti pada 1975 juga awalnya dipicu lonjakan komoditas minyak mentah pada 1973, momentum yang dikenal sebagai Oil Boom. Inflasi melonjak dan kemudian pertumbuhan melambat dan resesi terjadi pada 1975.
Harga minyak mentah dunia brent sudah terlempar dari level US$ 100 per barel sejak Selasa (12/7/2022) setelah selalu menembus di atas US$ 100 per barel sejak akhir Februari 2022. Harga minyak mentah dunia melesat setelah perang Rusia-Ukraina meletus pada 25 Februari lalu. Harga minyak bahkan menyentuh rekor tertinggi dalam 14 tahun terakhir pada awal Maret tahun ini.
Kendati harga minyak melandai tetapi harga komoditas tersebut masih bisa naik sewaktu-waktu. Pemulihan ekonomi China, ketidakmampuan negara OPEC dalam memenuhi target, serta meningkatnya mobilitas bisa kembali melambungkan harga minyak mentah dunia.
"Harga minyak mentah masih sangat volatil karena ketidakpastian di pasar komoditas. Kami masih memperkirakan jika pasar minyak mentah dunia masih ketat dan melandainya harga hanyalah sementara. Permintaan minyak diperkirakan masih akan tinggi," tulis UBS Group AG dalam laporannya What do falling commodity prices mean for inflation?
Melandainya harga minyak mentah menjadi kabar baik bagi Indonesia yang merupakan net importir minyak mentah. Jika harga minyak melandai maka beban subsidi energi bisa ditekan.
Pemerintah pada pertengahan Mei 2022 sudah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM serta tariff listrik untuk kalangan tertentu. Pemerintah memilih untuk menambah subsidi energi dan dana kompensasi hingga Rp 502,4 triliun.
Subsidi dan kompensasi dengan mempertimbangkan rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) ada di angka US$ 100 per barel. Merujuk pada data Kementerian ESDM, rata-rata harga ICP hingga Juni 2022 mencapai US$ 104 per barel.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sinyal tidak akan menaikkan harga energi subsidi, seperti BBM jenis Pertalite, Elpiji 3 kg, hingga listrik subsidi. Menurutnya, anggaran masih mampu untuk menalangi kenaikan harga energi
"Sampai akhir tahun saya rasa APBN mampu menahan subsidi energi termasuk BBM. Saat ini anggarannya Rp 502 triliun, pilihannya memang sulit," ujar Jokowi dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi Media Massa, Rabu (13/7/2022).
Sebelumnya, ekonom BCA David Sumual mengatakan pemerintah mendapatkan banyak windfall dari kenaikan harga komoditas yang bisa digunakan untuk menambal subsidi. Namun, anggaran belum tentu mencukupi jika harga minyak mentah melejit ke atas US$150 per barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA