Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah menambah alokasi kompensasi BBM dan listrik dan subsidi energi, serta perlindungan sosial hingga Rp 349,9 triliun. Namun, anggaran sebesar itu belum tentu disalurkan tepat sasaran.
Kementerian Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Mei lalu sepakat untuk menambah subsidi energi sebesar Rp 74,9 triliun. Alokasi pembayaran kompensasi BBM dan listrik juga ditambah sebesar Rp 275 triliun.
Kompensasi akan terbagi sebesar Rp 234 triliun untuk BBM dan listrik sebesar Rp 41 triliun. Pemerintah juga menambah anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 18,6 triliun.
Dengan demikian, subsidi energi akan menjadi Rp 208,9 triliun termasuk Rp 149,4 triliun untuk BBM dan Elpiji 3 kg. Kompensasi BBM dan listrik akan bengkak menjadi Rp 293,5 triliun. Secara keseluruhan, anggaran subsidi energi dan kompensasi tahun ini diperkirakan mencapai Rp 502,4 triliun.
Sementara itu, dengan penambahan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 18,6 triliun maka total pos anggaran tersebut mencapai Rp 431,5 triliun. Termasuk di dalamnya adalah untuk Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp 28,7 triliun dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa sebesar Rp sebesar Rp 28,8 triliun.
Bank Dunia dalam laporannya Financial Deepening for Stronger Growth and Sustainable Recovery Juni lalu mengatakan subsidi energi memang akan mengurangi beban masyarakat miskin. Namun, mereka mengingatkan 'kue' subsidi lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu sehingga Indonesia disarankan untuk mencari alternatif penyaluran subsidi.
Bank Dunia memperkirakan subsidi energi akan meningkat dari 0,8% menjadi 1,1% dari PDB pada 2021-2022. Kompensasi subsidi listrik dan BBM akan meningkat dari 0,7% dari PDB menjadi 1,5% dari PDB.
Sayangnya, Bank Dunia memperkirakan 42-73% subsidi solar dan 29% subsidi Elpiji dinikmati masyarakat kalangan menengah dan atas. Jika subsidi tersebut dihapus maka anggaran yang bisa diselamatkan bisa mencapai 1% dari Produk Domestik bruto (PDB).
"Subsidi diganti ke kelompok sasaran seperti masyarakat miskin, rentan, dan yang berpotensi masuk ke kelas menengah," tulis Bank Dunia.
Jika subsidi diarahkan kepada kelompok tersebut maka hanya akan memakan anggaran 0,5% dari PDB. Artinya, ada anggaran sebesar 0,6% dari PDB yang bisa diselamatkan.
"Subsidi energi dapat membantu menahan lonjakan harga dalam jangka pendek, adanya reformasi subsidi juga tetap diperlukan. Adanya exit plan yang mendorong perubahan dari pemberian manfaat secara umum menjadi dukungan yang lebih terarah untuk masyarakat yang miskin dan rentan adalah hal yang penting," tulis Bank Dunia.
Bank Dunia mengingatkan Indonesia untuk terus melakukan reformasi subsidi agar jumlah masyarakat miskin terus berkurang dan lebih tepat sasaran. Garis kemiskinan internasional ditetapkan sebesar US$ 1,9 per hari. Dengan bantuan sebesar itu maka masyarakat miskin diharapkan bisa bertahan hidup dari hari ke hari.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin pada September 2021 sebesar 26,5 juta orang. Untuk menentukan asumsi kurs dolar Amerika Serikat (AS), bisa menggunakan kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor. Rata-rata kurs tengah BI sepanjang 2020 adalah Rp 14.969.
Dengan demikian, kebutuhan untuk BLT adalah Rp 753,69 miliar per hari. Katakanlah BLT mulai diberikan 1 April sampai 31 Desember, akhir tahun anggaran 2022, yang berarti ada 275 hari. Dengan perkiraan tersebut, kebutuhan dana bantuan untuk warga miskin sebesar US$ 1,9 mencapai Rp 207,26 triliun
Jadi kebutuhan dana untuk BLT US$ 1 per hari sampai akhir tahun adalah Rp 207,26. Anggaran tersebut jauh hanya 41,3% dibandingkan kompensasi subsidi BBM dan listrik yang menembus Rp 502,4 triliun.
Jika menghitung garis kemiskinan per September 2021 tercatat sebesar Rp 486.168/kapita/ bulan maka anggaran yang diperlukan lebih kecil lagi yakni Rp 115,95 triliun.
Upaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos) ke masyarakat yang tepat sasaran, termasuk ke masyarakat paling miskin, selama ini selalu terkendala validitas dana. Tumpang tindih antar lembaga serta banyaknya kasus korupsi membuat penyaluran bansos Indonesia rawan salah sasaran.
Ombudsman mencatat, aduan masyarakat terbanyak sepanjang Juni 2020 sampai Oktober 2021 adalah terkait pelayanan kesejahteraan sosial. Sebanyak 275 dan 691 permintaan konsultasi non-laporan dari masyarakat terkait layanan tersebut.
Ombudsman menemukan bahwa data penerima sasaran (DTKS-Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) belum sepenuhnya valid.
"Sebagai contoh masih ditemukan penerima manfaat bantuan sosial yang telah meninggal dunia namun masih tercatat, warga yang telah pindah domisili. Pemda telah menyampaikan usulan data terbaru namun belum ditindaklanjuti pemutakhirannya oleh Kementerian Sosial," tutur Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, akhir tahun lalu.
Ombudsman mengatakan alur pendaftaran yang rumit dan cenderung berlarut, keterbatasan anggaran dan kompetensi SDM pelaksana yang dinilai tidak memadai serta minimnya akses dan informasi terkait jenis dan mekanisme bantuan sosial yang mudah dijangkau oleh masyarakat.
Menteri Sosial Tri Rismaharini mengakui validitas data masih menjadi persoalan besar dalam penyaluran bantuan. Dia berharap perbaikan data bisa lebih melibatkan peran aktif Pemerintah Daerah (Pemda) karena ada yang tidak melakukan pembaruan data selama selama 10 tahun. Padahal, ada banyak warga yang sudah meninggal ataupun pindah alamat dan domisili.
Bank Dunia memberikan sejumlah alternatif reformasi subsidi agar lebih tepat sasaran. Di antaranya adalah:
- Membatasi volume solar subsidi hanya untuk angkutan umum, nelayan kecil, dan petani miskin.
- Membatasi subsidi Elpiji 3 kg hanya untuk rumah tangga yang tidak mampu, keluarga nelayan, petani, serta pelaku UMKM.
- Kenaikan tariff listrik secara bertahap.
TIM RISET CNBC INDONESIA