Jakarta, CNBC Indonesia - Aliran gas Rusia ke Eropa mulai dihentikan kemarin (11/7/2022) karena pemeliharaan yang akan berlangsung pada 11 hingga 21 Juli.
Operator Nord Stream AG mengkonfirmasi penutupan dimulai sesuai rencana pada 06.00 waktu setempat. Aliran gas akan turun ke nol beberapa jam kemudian.
Pemeliharaan ini telah membuat beberapa negara Eropa berteriak. Beberapa menilai Rusia sengaja melakukan "balas dendam" karena sanksi yang dijatuhkan Eropa seiring tindakan Kremlin menyerang Ukraina sejak Februari.
Wajar sebab Rusia adalah pemasok utama gas alam lewat pipa ke Eropa. Menurut catatan BP Statistical Review 2022, Rusia memenuhi 45,25% pasokan gas alam ke Eropa lewat pipa. Jumlahnya mencapai 167 miliar meter kubik (bcm) dari total impor gas alam Eropa lewat pipa 369,1 bcm.
Pipa Nord Stream 1 sendiri mengangkut 55 bcm gas per tahun dari Rusia ke Jerman di bawah Laut Baltik. Pipa Nord Stream I sendiri sempat mengalami pemotongan daya pada bulan lalu di mana Rusia memangkas gas hingga 40% dari total kapasitas pipa itu.
Dampak instan yang bisa dirasakan adalah harga gas alam Eropa yang akan melambung di tengah krisis pasokan gas alam. Hal ini akan membuat negara-negara di Benua Biru di ambang krisis.
Negara-negara yang kontra terhadap Rusia menganggap ini bisa jadi langkah politik Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menegaskan kekuatan Rusia terhadap Eropa melalui gas di tengah konflik dengan Ukraina dan sekutu barat.
Caranya memperpanjang penghentian aliran gas meskipun jadwal pemeliharaan sudah selesai. Ini bisa mengacaukan rencana pengisian musim dingin Eropa yang berujung pada krisis gas.
Perdana Menteri (PM) Italia Mario Draghi menyebut hal itu merupakan kebohongan. "Kami diberitahu, bersifat teknis. Kami dan Jerman dan lainnya percaya bahwa ini adalah kebohongan," ujarnya, dikutip Reuters.
Analis di konsultan risiko politik Eurasia Group mengatakan jika Rusia melakukan penghentian total pasokan gas di luar jadwal jadwal pemeliharaan pada pipa Nord Stream 1, Jerman kemungkinan akan dipaksa untuk pindah ke tingkat tiga dari rencana gas darurat tiga tahapannya.
Halaman 2>>
Sejauh ini, kenaikan harga gas alam dunia memberikan tampaknya malah memberikan keuntungan bagi Indonesia. Harga gas alam dunia acuan HenryHub tercatat US$ 6,49 mmbtu, naik 77,5% secara point-to-point sepanjang tahun 2022.
Indonesia adalah eksportir gas alam. Kontribusinya pun mencapai 3,09% dari keseluruhan ekspor, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS)
Berdasarkan data BPS dari Januari hingga Mei 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 3,55 miliar. Jumlah tersebut naik 47,93% dibandingkan dengan periode yang sama.
Tingginya harga gas alam juga ternyata berpengaruh terhadap nilai impor Indonesia. Pada periode yang sama, nilai impor gas alam Indonesia mencapai US$ 2,33 miliar. Nilainya naik 62,84% dibandingkan impor pada Januari hingga Mei 2021.
Sehingga neraca dagang gas Indonesia mencapai US$ 1,22 miliar, melesat 67.9% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 970,4 juta.
Sementara itu, pendapatan negara juga menerima dampak positif dari kenaikan harga gas alam. Pendapatan negara bukan pajak dari sumber daya alam gas bumi pada semester I-2022 tercatat Rp 8,4 triliun. Pencapaian tersebut tumbuh 28,5% dibandingkan periode yang sama tahun 2021, mengutip data Kementerian Keuangan.
Pada semester II nanti, Kemenkeu memperkirakan PNBP dari sumber daya alam gas bumi sebesar US$ 20,3 triliun. Sehingga sepanjang 2022 akan mencapai US$ 28,8 triliun. Pencapaian tersebut sebesar 135% dari target APBN sebesar Rp 21,3 triliun.
Sementara itu, penerimaan pajak PPh Migas sepanjang semester pertama tercatat Rp 43 triliun, melesat 92,9% dibandingkan dengan semester pertama 2021. Selain itu, pencapaian ini sudah mencapai 90,9% dari target APBN dan 66,5% dari Perpres 98 tahun 2022.
Sehingga kenaikan harga gas alam lebih menguntungkan dari sisi ekspor dan APBN karena Indonesia merupakan eksportir bersih gas alam.
Di sisi lain, tingginya harga gas dunai juga menular ke Contract Price Aramco(CPA) sebagai acuan penetapan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG). Pada Juli ini sudah menyentuh US$ 725 per metric ton, naik 13% dibandingkan tahun 2021.
Sehingga harga keekonomian LPG pun naik. Adapun untuk LPG 3 Kg non subsidi berwarna pink dipatok menjadi Rp 58.000 per tabung.
Sementara untuk harga LPG 5,5 kg naik menjadi Rp 100.000 - Rp 127.000 per tabung. Sedangkan untuk LPG 12 kg rata-rata harganya mencapai Rp 213.000 - Rp 270.000 per tabung dilihat berdasarkan wilayahnya.
Sementara saat ini, harga LPG 3 kg yang subsidi dijual kisaran Rp 21.000 per tabung. Sehingga jika dibandingkan dengan LPG 3 Kg non subsidi ada selisih Rp 37.000 per tabung.
Naiknya harga LPG membuat subsidi energi sampai dengan semester I tahun 2022 mencapai Rp 75,6 triliun. Jumlah ini naik mencapai 36,2% dari pagi Perpres No.98 tahun 2022.
Menurut laporan Kemenkeu, kenaikan realisasi tersebut utamnaya didorong oleh peningkatan realisasi subsidi LPG tabung 3 Kg.
Adapun, dengan adanya kenaikan harga dari LPG non subsidi, maka konsekuensinya adalah perpindahan pengguna LPG non subsidi ke LPG subsidi akan semakin besar. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya migrasi perpindahan ke LPG subsidi sejak beberapa bulan lalu.
Terutama pada periode 3 Maret - 30 April 2022, penjualan LPG 3kg bersubsidi mengalami lonjakan kenaikan hampir 2% setelah adanya kenaikan harga LPG nonsubsidi di bulan Desember 2021 dan Februari 2022.
Sehingga akan makin membebani APBN karena biaya energi yang makin membengkak akibat tingginya harga gas alam dunia.