Perang Rusia-Ukraina, 71 Juta Orang Jatuh Miskin! RI Aman?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
08 July 2022 11:45
Infografis:  Biang Kerok Kemiskinan RI
Foto: Infografis/ Biang Kerok Kemiskinan RI/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang yang tengah terjadi antara Rusia-Ukraina ternyata telah mengirimkan puluhan juta orang ke dalam jurang kemiskinan terutama orang-orang yang berada di negara berkembang. Berdasarkan laporan Organisasi Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP), 71 juta orang di negara berkembang telah jatuh ke dalam kemiskinan hanya dalam waktu tiga bulan akibat lonjakan harga pangan dan energi global.

Saat masih berjuang keluar dari derita efek pandemi Covid-19, ekonomi dunia dikejutkan dengan eskalasi geopolitik Rusia dan Ukraina yang makin menekan. Konflik kedua negara tersebut tak hanya menimbulkan korban manusia karena serangan bersenjata, namun juga ekonomi global.

Inflasi yang tinggi jadi alasan dibalik terkikisnya pertumbuhan ekonomi global. Penyebab pertama dari tingginya inflasi adalah tingginya harga komoditas. Harga komoditas energi naik tinggi karana pasokan langka akibat pandemi, diperparah oleh konflik Rusia dan Ukraina.

Ketika suku bunga naik sebagai respons terhadap inflasi yang meninggi akan ada risiko memicu kemiskinan disebabkan oleh resesi yang akan semakin memperburuk krisis, mempercepat dan memperdalam kemiskinan di seluruh dunia.

Begitu juga dengan komoditas bahan pangan yang saat ini harganya makin tidak terjangkau. Akibatnya aksi proteksionisme pangan bermunculan di berbagai negara. Sebenarnya malah membuat masalah rantai pasokan ini makin rumit dengan gangguan rantai pasok.

Perlu diketahui, Rusia dan Ukraina adalah pemasok komoditas energi dan pangan utama dunia. Sehingga ketika pasokan dari kedua negara macet, dampaknya bisa dirasakan oleh berbagai negara.

Harga pangan global mencatat kenaikan tajam tahun ini dengan indeks komoditas Dana Moneter Internasional (IMF) untuk makanan & minuman, serta indeks non-bahan bakar, telah menyentuh rekor tertinggi tahun ini. Sementara itu indeks pangan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (UN FAO) telah menyentuh rekor tertinggi di bulan April dan mendatar di bulan Mei tetapi masih melonjak rata-rata 26% (yoy) dalam dua bulan.

Harga pangan yang tinggi menimbulkan tantangan bagi pembuat kebijakan, karena inflasi sisi penawaran dalam kebutuhan dasar seperti makanan dan bahan bakar cenderung mengubah persepsi inflasi.

Dampak tingginya harga pangan dan energi pada tingkat kemiskinan lebih drastis jika dibandingkan goncangan pada masa pandemi Covid-19. Berdasarkan analisis UNDP terhadap 159 negara berkembang secara global menunjukkan bahwa lonjakan harga komoditas utama sudah memiliki dampak langsung dan menghancurkan pada rumah tangga termiskin, dengan titik panas yang jelas di Balkan, negara-negara di wilayah Laut Kaspia dan Afrika Sub-Sahara (khususnya wilayah Sahel).

"Lonjakan harga yang belum pernah terjadi sebelumnya berarti bahwa bagi banyak orang di seluruh dunia, makanan yang mereka mampu kemarin tidak lagi dapat diperoleh hari ini," kata Achim Steiner, administrator UNDP.

"Krisis biaya hidup ini membawa jutaan orang ke dalam kemiskinan dan bahkan kelaparan dengan kecepatan yang menakjubkan dan dengan itu, ancaman peningkatan kerusuhan sosial tumbuh dari hari ke hari" tambahnya.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia kembali direvisi. Bahkan lebih rendah dari sebelumnya. Ekonomi global pun hanya sejengkal dari jurang krisis akibat stagflasi.

Pada laporan terbaru tentang Prospek Ekonomi Global yang dirilis oleh Bank Dunia, Ekonomi global diproyeksikan melambat menjadi 2,9% pada tahun 2022, lebih rendah dari proyeksi Januari sebesar 4,1%. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 jauh melambat. Tahun lalu ekonomi global bertumbuh 5,7%. 

Bank Dunia menilai invasi Rusia ke Ukraina memperparah perlambatan ekonomi global, yang notabene belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Perekonomian dunia kini diprediksi memasuki periode pertumbuhan lemah yang berkepanjangan seiring meningkatnya laju inflasi.

Dalam kondisi yang sulit saat ini, Negara-negara telah mencoba untuk mengurangi dampak terburuk dari krisis saat ini dengan menggunakan pembatasan perdagangan, potongan pajak, subsidi energi dan transfer tunai yang ditargetkan.

Dalam laporan tersebut, di tengah kondisi krisis energi yang terjadi bantuan tunai dinilai lebih adil dan hemat biaya daripada subsidi menyeluruh. Subsidi energi secara tidak proporsional justru akan menguntungkan orang-orang kaya dan akan lebih sedikin manfaatnya bagi penduduk miskin.

Lonjakan harga pangan dan energi sangat memukul negara-negara berpenghasilan rendah. Mereka kemungkinan membutuhkan lebih banyak hibah dan pembiayaan yang fleksibel.

"Subsidi energi menyeluruh dapat membantu dalam jangka pendek, dalam jangka panjang mereka mendorong ketidaksetaraan, semakin memperburuk krisis iklim, dan tidak melunakkan pukulan langsung dari kenaikan biaya hidup seperti halnya bantuan tunai yang ditargetkan," kata penulis laporan George Gray Molina, Kepala Keterlibatan Kebijakan Strategis UNDP.

Menurut IMF, negara-negara harus melakukan reformasi untuk meningkatkan transparansi utang dan memperkuat kebijakan pengelolaan utang untuk mengurangi risiko. Sekitar 60% negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam, atau berisiko, kesulitan utang. Naiknya suku bunga di negara-negara ekonomi terkemuka dapat melebar ke negara-negara dengan fundamental yang lebih lemah, sehingga biaya pinjaman menjadi lebih mahal.

Perlu diketahui bahwa moratorium utang resmi selama 2 tahun harus dipertimbangkan untuk membantu semua negara berkembang untuk bangkit kembali dari kondisi krisis ini. Bank Dunia mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 saja telah mendorong utang di negara-negara berkembang ke level tertinggi dalam 50 tahun, setara dengan lebih dari dua setengah kali pendapatan mereka.

Negara-negara yang menghadapi dampak paling drastis dari krisis di semua garis kemiskinan adalah Armenia dan Uzbekistan di Asia Tengah, Burkina Faso, Ghana, Kenya, Rwanda, dan Sudan di Afrika Sub-Sahara, Haiti di Amerika Latin, dan Pakistan dan Sri Lanka di Asia Selatan.

Sementara di Ethiopia, Mali, Nigeria, Sierra Leone, Tanzania, dan Yaman, dampaknya bisa sangat keras di garis kemiskinan terendah. Sedangkan di Albania, Republik Kirgistan, Moldova, Mongolia, dan Tajikistan, pukulan paling keras bisa terjadi.

Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1% pada tahun 2022, makin cepat dibanding pada tahun 2021 yaitu 3,7%. Sebagai eksportir komoditas, Indonesia diuntungkan dari lonjakan harga hasil bumi membuat neraca perdagangan menjadi kuat. Nilai ekspor bahkan mencatat rekor sepang masa pada bulan Mei.

Batu bara, sawit, nikel, tembaga adalah komoditas yang jadi tumpuan penambah pundi-pundi pendapatan Indonesia. Ekonomi Indonesia juga di sisi lain cukup bergantung terhadap China. Pelemahan ekonomi China akan turut menarik Indonesia ke bawah, baik dari sisi perdagangan maupun investasi.

Ekonomi China pada tahun 2022 diproyeksikan akan bertumbuh 4,3%. Pencapaian ini melambat dari tahun 2021 sebesar 8,1%.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh aktivitas ekonomi yang terhambat terutama akibat gelombang Covid-19 yang mengharuskan untuk penguncian ketat. Akibatnya pertumbuhan belanja konsumen menjadi lemah.

Sementara itu, investasi perdagangan dan manufaktur telah kehilangan momentum karena gangguan pasokan dan dampak negatif konflik di Ukraina.

Nyatanya saat ini pemerintah masih mensubsidi BBM jenis Pertalite untuk meringankan rakyat Indonesia. Di sisi lain, harga bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa ditahan terus menerus apabila harga minyak dunia terus menanjak. Subsidi BBM ibarat bom waktu yang siap ledakan APBN.

Lonjakan harga komoditas global, khususnya minyak mentah merupakan risiko bagi inflasi dan arah fiskal di negara kawasan. Bagi Indonesia, kenaikan harga komoditas menjadi keuntungan sekaligus kerugian.

Kenaikan harga komoditas global membawa berkah dalam peningkatan ekspor dan pendapatan pemerintah, namun menambah biaya fiskal untuk mempertahankan kontrol harga serta subsidi dan menahan laju inflasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Pangan & Energi Tinggi, Inflasi RI Berpotensi Menuju 5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular