Internasional

Performa Ekonomi Inggis di Bawah PM Boris Johnson: Lemas...

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
08 July 2022 09:00
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berjalan di Downing Street
Foto: Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berjalan di Downing Street, di London, Inggris, 6 Juli 2022. (REUTERS/John Sibley)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson telah resmi mengumumkan pengunduran pada Kamis (7/7/2022). Johnson menjadi kepala pemerintahan Negeri Big Ben selama tiga tahun.

Sebelumnya, pemerintahan Inggris nyaris bubar setelah lebih dari 50 menteri dan pejabat negara mengajukan pengunduran diri. Hal ini akibat Johnson mengangkat Chris Pincher sebagai Deputy Chief Whip, yang mengatur kontribusi partai di parlemen. Pincher sempat terlibat dalam skandal pelecehan seksual.

Johnson sempat berkukuh untuk melanjutkan pemerintahan. Namun demikian, posisi Johnson justru kian rapuh. Belum lama ini, dia menghadapi mosi tidak percaya di parlemen menyusul skandal 'partygate' yang menimpanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Rishi Sunak telah mengundurkan diri dari jabatannya pada Selasa (5/7/2022). Johnson kemudian menunjuk Nadhim Zahwi sebagai pengganti.

Sunak meninggalkan jabatannya di tengah gejolak ekonomi dunia dan ancaman resesi ekonomi global mempengaruhi ekonomi Inggris. Tentu, Zahawi harus bekerja ekstra keras, terutama dengan warisan ekonomi Inggris yang saat ini mencetak rekor inflasi nyaris dobel digit, serta pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Terlepas dari kasus yang tengah terjadi, ekonomi Inggris tengah mengalami tekanan sejak pandemi Covid-19 hingga gonjang-ganjing perekonomian global. Tentunya perekonomian Inggris begitu disorot karena merupakan negara kelima dengan perekonomian terbesar di dunia.

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi Inggris menurut besaran Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$ 3,1 triliun. Tetapi tetap saja di tengah kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian, Inggris pun merupakan salah satu yang terkena imbasnya.

Oleh sebab itu, siapa pun yang menggantikan Johnson, harus dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang tengah memburuk sejak Covid-19 hingga ancaman resesi saat ini. Untuk itu, Inggris tengah bersiap menghadapi memburuknya prospek ekonomi.

Berdasarkan Laporan Stabilitas Keuangan, Bank Sentral Inggris (BoE) menyebut ekonomi Negeri Tiga Singa tengah memburuk. Perang di Ukraina ikut memperkeruh kondisi ekonomi.

Inggris lebih rentan terhadap resesi dan inflasi tinggi dibandingkan negara-negara Barat lainnya, yang semuanya sedang bergulat dengan guncangan pasar komoditas dan energi global. Pada April lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Inggris pada 2023 akan lebih lambat dan inflasi yang lebih tinggi dari ekonomi utama lainnya di seluruh dunia.

Saat ini, inflasi Inggris telah mencapai level tertinggi 40 tahun terakhir, yakni di 9,1% pada Mei. BoE memperkirakan inflasi akan mencapai 11% pada Oktober nanti.

Tekanan inflasi ini pun membuat BoE harus menaikkan suku bunga acuan yang berujung pada merosotnya indeks konsumen. Ini mengakibatkan PDB Inggris menyusut pada April dan diperkirakan mengalami kontraksi pada kuartal II-2022.

Kepala Ekonom BoE Huw Pill memperingatkan bahwa ekonomi Inggris akan melambat dalam setahun ke depan. Potensi tindakan agresif dari BoE dalam menaikkan suku bunga acuan bisa menyebabkan perlambatan pemulihan.

Sebelumnya, pada Juni 2022 BoE telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,25%. Kenaikan tersebut merupakan yang kelima kalinya terjadi secara beruntun sejak Desember tahun lalu.

Pada Mei 2022 laju inflasi Inggris telah meningkat 9,1% dibanding Mei tahun sebelumnya (year on year/yoy). Inflasi ini dipicu naiknya harga komoditas pangan dan energi yang kian tinggi setelah Rusia melakukan invasi ke Ukraina.

Bank sentral Inggris pun berpeluang mengerek lagi suku bunga acuannya di waktu mendatang demi menekan lanju inflasi ke target 2%. Bank Dunia dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects juga mengingatkan hal yang sama. Kenaikan suku bunga acuan dan tingginya inflasi akan membuat sejumlah negara berjuang keras menahan arus modal keluar.

"Lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga, beban utang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat akan membuat pasar keuangan sejumlah negara tertekan," tulis Bank Dunia.

Dengan kondisi perekonomian yang lambat ini, anggota parlemen dari Partai Konservatif mengusulkan insentif pemotongan pajak pertambahan nilai (PPN). Langkah tersebut tentu berpotensi pada hilangnya penerimaan negara yang cukup besar.

Selain melemahnya ekonomi Inggris, potensi resesi Inggris kian nyata jika dilihat dari beberapa indikator makro lainnya. Suku bunga yang tinggi turut melemahkan kepercayaan konsumen dan juga sektor bisnis.

Indeks keyakinan konsumen di Inggris juga jatuh dan menyentuh posisi terendahnya karena Inggris sedang dilanda dengan inflasi yang sangat tinggi dan menyentuh rekor tertinggi sejak 40 tahun, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan krisis biaya hidup.

IKK merupakan rata-rata sederhana dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini dan Indeks Ekspektasi Konsumen. Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini mencakup keyakinan konsumen mengenai penghasilan saat ini, ketepatan waktu untuk melakukan pembelian barang tahan lama dan ketersediaan lapangan kerja.

Secara keseluruhan, penilaian konsumen terhadap kondisi bisnis dan kondisi pasar tenaga kerja saat ini terlihat pesimistis.

Selain itu, data penjualan ritel pada Mei 2022 mengalami penurunan menjadi -4,7%. Nampaknya konsumen masih menahan pengeluaran di tengah inflasi yang sedang melonjak.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Boris Johnson Batal Nyalon Lagi, Ini Calon Terkuat PM Inggris

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular