Aneh! Orang RI Makin Doyan Gandum, Begini Nasib Beras

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
06 July 2022 06:45
foto : CNBC Indonesia/Samuel Pablo
Foto: Ilustrasi Beras/ CNBC Indonesia/Samuel Pablo

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga beras dalam 2 tahun terakhir dinilai amat stabil sehingga tak lagi menjadi biang inflasi. Harga beras tidak lagi tergantung musim, tapi semakin turun ke bawah harga pembelian pemerintah (HPP).

Sementara itu, konsumsi beras yang semakin turun dinilai jadi salah satu penyebab melandainya harga beras di Indonesia. Ditambah, penyerapan pemerintah yang terendah sepanjang sejarah cadangan beras pemerintah (CBP) oleh Perum Bulog.

Di sisi lain, ongkos usaha tani padi terus naik selama 2 tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pergerakan harga rata-rata gabah dan beras pada bulan Juni 2022 melandai dibandingkan Mei 2022.

Pada bulan Juni 2022, harga gabah kering panen (GKP) tumbuh 1,7% dibandingkan Mei 2022, lebih rendah jika dibandingkan Mei 2022 yang naik 2,12% dibandingkan April 2022.

Harga beras di penggilingan turun 0,30% pada Juni 2022 dibandingkan Mei 2022, lebih dalam dibandingkan Mei 2022 yang turun 0,43% dari April 2022.

Harga beras eceran bulan Juni 2022 turun 0,06% dari Mei 2022, membaik dibandingkan Mei 2022 yang turun 0,16% dari April 2022.

Hanya harga di tingkat grosir yang naik, dimana pada Juni 2022 naik 0,01% dibandingkan Mei 2022, sementara Mei 2022 dibandingkan April 2022 terjadi penurunan 0,07%.

"Stok masih tinggi dan serapan pemerintah sedikit. Ini penyebab utamanya kenapa harga rendah di bawah HPP. Ini menandakan serapan pemerintah yang teramat rendah, hanya 1 juta ton, terendah sepanjang sejarah. Yang biasanya 2 juta ton. Kondisi ini menyengsarakan petani," kata Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/7/2022).

Di sisi lain, ujarnya, konsumsi beras per kapita juga turun.

"Dan, ini tergantikan gandum. Dalam 12 tahun terakhir, konsumsi gandum naik porsinya dari 18,3% di tahun 2010 menjadi 27% saat ini. Itu terhadap konsumsi pangan masyarakat. Konsumsi beras turun," kata Dwi Andreas.

Departemen Pertanian AS (USDA) memprediksi, konsumsi tepung terigu di Indonesia pada periode tahun 2020/2021 naik jadi 32 kg per kapit dibandingkan tahun 2019/2020 yang skeittar 31 kg per kapita.

Dipicu urbanisasi dan berkembangnya masyarakat kelas menengah. Hal ini disebutkan sejalan dengan semakin bervariasinya olahan pangan sehingga menaikkan konsumsi produk berbasis gandum yaitu roti, pizza, dan pasta.

Donat (CNBC Indonesia/ Wanti Puspa Gustiningsih)Foto: Donat (CNBC Indonesia/ Wanti Puspa Gustiningsih)
Donat (CNBC Indonesia/ Wanti Puspa Gustiningsih)

"Melihat perkembangan PPKM akibat pandemi Covid-19, konsumsi pangan berbasis gandum di Indonesia tahun 2021/2022 akan naik 3,4% menjadi 8,9 juta ton dan di tahun 2022/2022 menjadi 9,3 juta ton. Didorong semakin berkembangnya usaha skala kecil menengah seperti bakery artisan maupun industri skala manufaktur," demikian rangkuman laporan USDA dikutip Rabu (6/7/2022).

Sedangkan untuk beras, USDA memproyeksikan, akan ada penurunan sekitar 0,62% per tahun. Hal ini dipicu perkembangan masyarakat kelas masyarakat berpendapatan menengah ke atas yang mempengaruhi pola konsumsi semakin bervariasi.

"Semakin beralih ke gaya konsumsi barat, seperti roti dan pasta. Sedangkan masyarakat kelas menengah bawah terus mengganti berasnya ke mi instan karena lebih mudah dimasak dan terjangkau," demikian bunyi laporan tersebut.

Konsumsi beras di Indonesia diprediksi susut jadi 35,1 juta ton di tahun 2022/2023.

Data BPS menunjukkan, rata-rata konsumsi makanan per kapita per bulan, baik di perkotaan maupun pedesaan pada September 2021 adalah 6,75 kg untuk beras dan tepung terigu 0,24 kg.

Di bulan Maret 2021, angka tersebut tercatat 6,70 kg untuk beras dan terigu 0,23 kg.

Sementara di bulan Maret 2020 konsumsi beras tercatat 6,45 kg per kapita per bulan dan terigu 0,20 kg per kapita per bulan.

Jika secara rinci, data BPS menunjukkan, konsumsi beras per kapita per September tahun 2015-2019 adalah 6,97 kg, 6,88 kg, 6,54 kg, 6,56 kg, dan 6,41 kg.

Sementara tepung terigu tercatat 0,16 kg, 0,17 kg, 0,20 kg, 0,21 kg, dan 0,20 kg.

Mi instan tercatat 4,07 bungkus, 3,81 bungkus, 3,63 bungkus, 3,76 bungkus, dan 3,47 bungkus ukuran 80 gram per bulan.

Sedangkan mi lain, mengkonsumsi 2,21 porsi, 2,17 pporsi, 2,48 porsi, 2,46 porsi, dan 2,48 porsi per bulan.

Ilustrasi Mie Instant (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)Foto: Ilustrasi Mie Instant (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Ilustrasi Mie Instant (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Artinya, profil konsumsi bahan pokok Indonesia tak hanya beras maupun mi instan. Tapi ada olahan tepung terigu lainnya, seperti mi dan roti.

BPS mencatat, sampai saat ini konsumsi beras masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Karena masih jadi makanan pokok.

"Konsumsi beras pada rumah tangga di tahun 2019 adalah 20.685.619 ton, sekitar 77,5 kg per kapita per tahun. Kondisi ini cenderung mengalami penurunan. Konsumsi beras tahun 2019 turun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Demikian juga dengan konsumsi per kapita nya juga mengalami penurunan," demikian publikasi BPS Konsumsi Bahan Pokok 2019 dikutip Rabu (6/7/2022).

Dwi Andreas memprediksi, kondisi ini akan semakin membebani petani. Dengan harga yang semakin rendah, sementara inflasi yang memicu kenaikan biaya produksi terus bertambah.

"Setiap musim tanam petani padi itu merugi Rp250 ribuan," kata Dwi Andreas.

"Ini akan semakin berdampak pada petani makin pasrah. Dan, peralihan lahan pertanian ke non pertanian akan bertambah. Saya mengkhawatirkan kondisi cadangan pangan kita ke depan. Sepanjnag tahun 2015-2021, produksi padi nasional turun 0,35% per tahun," kata Dwi Andreas.

Dia mengatakan, kondisi tersebut merupakan titik kritis dan harus segera diatasi.

"Pemerintah bangga karena harga beras, juga gabah, stabil. Ini menguntungkan konsumen, juga pemerintah karena inflasi karena beras rendah. Tapi harga stabil atau stagnan ini membawa kerugian bagi petani dan penggilingan padi. Ongkos usaha tani naik terus sepanjang dua tahun terakhir, tapi harga jual gabah/beras stagnan, bahkan turun," kata Pengamat Pertanian Khudori kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/7/2022).

Dia menambahkan, sejak April 2020 sampai sekarang, harga gabah kering panen (GKP) di level petani dan gabah kering giling (GKG) di penggilingan jatuh di bawah HPP berlangsung terus menerus.

"Tak banyak yang menyadari. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah perberasan. Perani padi dan penggilingan padi tak berteriak karena mereka tidak seperti petani tebu atau sawit. Mereka tak bisa bersuara. Kasihan mereka," pungkas Khudori. 


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Pangan Dunia Melonjak, Beras Terancam Jadi 'Korban'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular