Arab Mau Dongrak Harga Minyak, Pertalite Cs Belum Naik Juga

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
30 June 2022 15:55
Warga mengisi bensin di Kawasan SPBU Kuningan Rasuna Said, Jakarta, Selasa, 28/Juni/2022. PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga berencana mengatur pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Khusus Penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan juga BBM Solar Subsidi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Warga mengisi bensin di Kawasan SPBU Kuningan Rasuna Said, Jakarta, Selasa, 28/Juni/2022. PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga berencana mengatur pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Khusus Penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan juga BBM Solar Subsidi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Arab Saudi sebagai eksportir minyak dikabarkan akan menaikkan harga kadar minyak mentah ringan (light crude oil) ke Asia pada Agustus didukung rekor margin sulingan dan premi spot yang kuat untuk minyak Timur Tengah bulan ini.

Menurut sembilan sumber penyulingan yang disurvei oleh Reuters pada 28-29 Juni, Arab Saudi menaikkan harga jual resmi (OSP) untuk minyak mentah ringan Arab, andalannya ke Asia sebanyak US$ 2,4 per barel dari bulan sebelumnya.

Saudi Aramco, perusahaan minyak BUMN Arab Saudi, mengatakan akan menaikkan harga jual resmi (OSP) untuk minyak mentah. Langkah itu dilakukan meski OPEC+ sepakat untuk meningkatkan produksi pada Juli dan Agustus hingga sebanyak 648 ribu barel per hari atawa 50 persen lebih banyak dari yang direncanakan sebelumnya.

Seperti yang telah diketahui, bahwa Arab Saudi menjadi produsen sekaligus eksportir minyak mentah terbesar di dunia. Mengutip data worldstopexports, nilai ekspor minyak mentah dari Arab Saudi pada 2020 sebesar US$113,7 miliar atau 17,2% dari total ekspor minyak dunia.

Marjin untuk bensin, solar, dan bahan bakar jet di Asia melonjak ke rekor pada bulan ini bersamaan dengan kebangkitan permintaan perjalanan di tengah pelonggaran pembatasan Covid-19. Premi spot minyak mentah Oman dan Dubai telah naik ke level tertinggi sejak pertengahan Maret, sementara Murban asam ringan melonjak ke rekor minggu lalu.

Perubahan bulanan dalam selisih harga bulan pertama dan ketiga untuk patokan Timur Tengah Dubai biasanya memandu berapa banyak Saudi dapat menaikkan atau memotong OSP Arab Light. Bulan ini, selisih melebar rata-rata US$ 2,47 per barel, kondisi ini menunjukkan pasokan yang ketat.

Produsen utama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah menandai terbatasnya kapasitas cadangan untuk lebih meningkatkan produksi. Sementara kerusuhan politik di Libya dan Ekuador dapat semakin memperketat pasokan minyak.

China mengeluarkan 52,7 juta ton kuota impor minyak mentah segar untuk penyulingan independennya, naik 49% dari jatah yang sama tahun lalu. Kondisi ini akan memungkinkan pembeli China untuk mengambil lebih banyak kargo minyak mentah dari pasar global yang sudah ketat kemudian harga akan semakin naik.

Untuk grade lainnya, responden survei Reuters memperkirakan OSP untuk Arab Medium naik $0,50 menjadi $3,00 per barel, dan Arab Heavy naik $0,50 menjadi $2,90 per barel.

OSP untuk Arab Extra Light, yang biasanya mengikuti harga Murban, terlihat naik US$ 5,35 per barel. Premi spot rata-rata IFAD Murban terhadap harga Dubai meningkat US$ 4,38 per barel di bulan Juni dari bulan sebelumnya.

OSP minyak mentah Saudi menetapkan tren untuk harga Iran, Kuwait dan Irak, mempengaruhi sekitar 9 juta barel per hari (bph) minyak mentah yang menuju Asia.

Berikut perkiraan harga minyak Arab Saudi untuk Agustus (dalam US$/barel terhadap rata-rata Oman/Dubai)

Selama ini Indonesia banyak mengimpor minyak mentah asal Arab Saudi. Impor ini dilakukan karena karakter minyak Arab ini cocok dengan spesifikasi kilang Pertamina, yakni hanya bisa mengolah minyak mentah berat atau "heavy crude" dengan sulfur rendah.

Namun kekurangannya, harga minyak mentah berat asal Arab ini memang lebih mahal dibandingkan jenis minyak asam atau "sour crude" yang bisa dipasok dari berbagai sumber.

Kenaikan harga impor minyak mentah dari Arab Saudi tentu berpengaruh pada Indonesia. Indonesia saat ini merupakan negara net importir minyak, artinya masih mengimpor minyak mentah maupun produk olahannya seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor minyak mentah Indonesia terbesar pada 2021 berasal dari Arab Saudi dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan nilai US$ 2,27 miliar. Volume itu mencapai 32,08% dari total impor minyak mentah Indonesia yang totalnya seberat 13,78 juta ton. Volume impor minyak tersebut juga meningkat 31,08% dari tahun sebelumnya.

Di tengah kenaikan harga minyak dunia dan rencana Arab Saudi mendongkrak harga minyak, Indonesia masih mempertahankan harga jual BBM jenis Pertalite dan Solar bersubsidi. Harga bensin RON 90 atau Pertalite masih dijual Rp 7.650/liter.

Selisih dari harga jual dengan harga keekonomian ditutup dengan subsidi yang disalurkan oleh pemerintah. Namun, anggaran subsidi pemerintah menghitung harga minyak pada 2022 sebesar US$ 63/barel. Padahal sekarang harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) pada Mei 2022 menjadi US$ 109,61. Hal ini pun membuat subsidi Indonesia naik.

Bank DBS Indonesia menyebutkan pada kuartal I-2022, total subsidi naik 80% secara tahunan, dengan subsidi untuk energi meningkat sebesar 55% secara tahunan. Ditambah dengan kompensasi yang harus dibayarkan kepada PT Pertamina sebesar Rp 49,5 triliun pada 2020. Dengan Rp 15,9 triliun masih belum dibayarkan di samping Rp 68,5 triliun untuk tahun 2021, yang mungkin jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan sebesar Rp 140 triliun untuk 2022.

Dengan asumsi kenaikan 20% dalam total subsidi di samping kompensasi lebih tinggi untuk perusahaan minyak milik negara, dana cadangan kumulatif sebesar 0,4% dari PDB akan diperlukan untuk penghitungan defisit anggaran tahun ini untuk tetap berada dalam target -4,85%.

Beberapa bensin non subsidi mulai disesuaikan oleh Pertamina, penyalur bensin terbesar dunia. Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex sudah disesuaikan. Menyusul Pertamax non-subsidi menjadi Rp 12.500 per liter pada April 2022. Bahkan dengan harga yang disesuaikan pun, Pertamina masih harus menanggung rugi sekitar Rp 5.000/liter dibanding harga pasar atau keekonomian.

Meskipun selisih harga jual Pertalite dan harga keekonomiannya melebar, pemerintah masih enggan menaikkan harga Pertalite. Pertalite sendiri adalah BBM yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Sehingga dampaknya lebih terasa ke daya beli masyarakat, yang diukur dengan inflasi, dibanding jenis lainnya.

Jika harga Pertalite naik maka inflasi Indonesia akan melonjak. Merujuk data BPS, inflasi biasanya melonjak satu bulan setelah kenaikan harga BBM. 

Dalam keranjang inflasi, bensin memiliki bobot 4% menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga misalnya saja harga BBM naik 10%, inflasi bisa terdorong hingga 0,4 poin persentase terhadap inflasi.

Pada November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 33% dan inflasi pada bulan tersebut mencapai 1,5% (mtm). Namun, inflasi melonjak pada bulan Desember menjadi 2.46% (mtm).

Pada Juni 2013, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 30%. Inflasi Juni tercatat 1,02% tetapi bulan berikutnya melesat ke 3,29%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular