
Arab Mau Dongrak Harga Minyak, Pertalite Cs Belum Naik Juga

Selama ini Indonesia banyak mengimpor minyak mentah asal Arab Saudi. Impor ini dilakukan karena karakter minyak Arab ini cocok dengan spesifikasi kilang Pertamina, yakni hanya bisa mengolah minyak mentah berat atau "heavy crude" dengan sulfur rendah.
Namun kekurangannya, harga minyak mentah berat asal Arab ini memang lebih mahal dibandingkan jenis minyak asam atau "sour crude" yang bisa dipasok dari berbagai sumber.
Kenaikan harga impor minyak mentah dari Arab Saudi tentu berpengaruh pada Indonesia. Indonesia saat ini merupakan negara net importir minyak, artinya masih mengimpor minyak mentah maupun produk olahannya seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor minyak mentah Indonesia terbesar pada 2021 berasal dari Arab Saudi dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan nilai US$ 2,27 miliar. Volume itu mencapai 32,08% dari total impor minyak mentah Indonesia yang totalnya seberat 13,78 juta ton. Volume impor minyak tersebut juga meningkat 31,08% dari tahun sebelumnya.
Di tengah kenaikan harga minyak dunia dan rencana Arab Saudi mendongkrak harga minyak, Indonesia masih mempertahankan harga jual BBM jenis Pertalite dan Solar bersubsidi. Harga bensin RON 90 atau Pertalite masih dijual Rp 7.650/liter.
Selisih dari harga jual dengan harga keekonomian ditutup dengan subsidi yang disalurkan oleh pemerintah. Namun, anggaran subsidi pemerintah menghitung harga minyak pada 2022 sebesar US$ 63/barel. Padahal sekarang harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) pada Mei 2022 menjadi US$ 109,61. Hal ini pun membuat subsidi Indonesia naik.
Bank DBS Indonesia menyebutkan pada kuartal I-2022, total subsidi naik 80% secara tahunan, dengan subsidi untuk energi meningkat sebesar 55% secara tahunan. Ditambah dengan kompensasi yang harus dibayarkan kepada PT Pertamina sebesar Rp 49,5 triliun pada 2020. Dengan Rp 15,9 triliun masih belum dibayarkan di samping Rp 68,5 triliun untuk tahun 2021, yang mungkin jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan sebesar Rp 140 triliun untuk 2022.
Dengan asumsi kenaikan 20% dalam total subsidi di samping kompensasi lebih tinggi untuk perusahaan minyak milik negara, dana cadangan kumulatif sebesar 0,4% dari PDB akan diperlukan untuk penghitungan defisit anggaran tahun ini untuk tetap berada dalam target -4,85%.
Beberapa bensin non subsidi mulai disesuaikan oleh Pertamina, penyalur bensin terbesar dunia. Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex sudah disesuaikan. Menyusul Pertamax non-subsidi menjadi Rp 12.500 per liter pada April 2022. Bahkan dengan harga yang disesuaikan pun, Pertamina masih harus menanggung rugi sekitar Rp 5.000/liter dibanding harga pasar atau keekonomian.
Meskipun selisih harga jual Pertalite dan harga keekonomiannya melebar, pemerintah masih enggan menaikkan harga Pertalite. Pertalite sendiri adalah BBM yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Sehingga dampaknya lebih terasa ke daya beli masyarakat, yang diukur dengan inflasi, dibanding jenis lainnya.
Jika harga Pertalite naik maka inflasi Indonesia akan melonjak. Merujuk data BPS, inflasi biasanya melonjak satu bulan setelah kenaikan harga BBM.
Dalam keranjang inflasi, bensin memiliki bobot 4% menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga misalnya saja harga BBM naik 10%, inflasi bisa terdorong hingga 0,4 poin persentase terhadap inflasi.
Pada November 2014, pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 33% dan inflasi pada bulan tersebut mencapai 1,5% (mtm). Namun, inflasi melonjak pada bulan Desember menjadi 2.46% (mtm).
Pada Juni 2013, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 30%. Inflasi Juni tercatat 1,02% tetapi bulan berikutnya melesat ke 3,29%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]