Separah Apa Situasi di India? Separah Ini...
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang rupee India amblas ke rekor terlemah sepanjang sejarah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (28/6/2022). Pelemahan dipicu oleh lonjakan inflasi, kaburnya investor asing, serta melambungnya harga minyak.
Melansir data Refinitiv pada hari ini, Rabu (29/6/2022), pukul 10:00 WIB, rupee masih melemah di posisi INR 79,00/US$ atau terlemah dalam sejarah. Jigar Trivedi, analis dari Anand Rathi Shares and Stock Brokers, memperkirakan pelemahan rupee masih akan berlanjut. Pasalnya, harga minyak belum juga turun sementara net sell dari investor asing masih terus terjadi di pasar saham.
"Rupee bisa melemah ke level 80-81. Akhir tahun, kita mungkin melihat ada defisit kembar yakni defisit transaksi berjalan dan fiskal yang menambah tekanan ke pasar mata uang ," tuturnya, seperti dilansir dari The Print.in.
Inflasi India menembus 7,04% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini. Inflasi didorong oleh melambungnya harga bahan pangan seperti sayuran, bumbu-bumbuan, dan minyak nabati.
Kenaikan harga bahan pangan tersebut sangat memberatkan karena pangan adalah kebutuhan dasar. Selama tiga bulan terakhir, harga pangan rata-rata melonjak 7,3% sementara harga bahan bakar rumah tangga melonjak 15%.
Inflasi juga didorong oleh melambungnya harga energi seiring lonjakan harga minyak mentah dunia yang selalu di atas US$ 100 per barel sejak serangan Rusia ke Ukraina, 24 Februari lalu.
Inflasi Mei sebenarnya melandai dibandingkan pada April yang tercatat 7,79% dan menjadi rekor tertingginya dalam delapan tahun. Namun, laju inflasi masih jauh di atas target bank sentral India (RBI) yakni 2-6%.
RBI sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 90 bps menjadi 4,9% pada tahun ini untuk menekan laju inflasi. Suku bunga acuan dinaikkan masing-masing 40 bps pada Mei dan 50 bps pada Juni. Namun, RBI kemungkinan akan menaikkan bunga lebih agresif karena laju inflasi masih jauh di atas sasaran mereka.
Di satu sisi, kebijakan agresif RBI diperkirakan akan mendinginkan inflasi India. Namun, di sisi lain kebijakan tersebut bisa membawa India ke jurang resesi karena melambatnya pertumbuhan.
"Upaya kami dalam menekan inflasi masih berjalan sesuai jalur. Sampai Desember, inflasi kemungkinan masih akan lebih tinggi dari batas atas level toleransi kami. Namun, kami harap inflasi bisa terus ditekan ke bawah 6%," tutur Gubernur RBI Shaktikanta Das, seperti dikutip dari Times of India.
Shaktikanta menambahkan lonjakan inflasi India lebih disebabkan oleh faktor supply dan bukan demand. Namun, kebijakan moneter tetap memegang peranan penting dalam menjaga ekspektasi inflasi.
"Ekspektasi inflasi tidak hanya mempengaruhi rumah tangga tetapi juga bisnis dan mendorong kenaikan harga, produk manufaktur, serta jasa. Jika ekspektasi inflasi tinggi maka perusahaan tidak bisa membuat perencanaan yang jelas," imbuh Shaktinanda.
Dia menjelaskan pelemahan rupee lebih disebabkan oleh derasnya capital outflow, seperti halnya yang terjadi di emerging market lainnya.
RBI memperkirakan outflow di pasar keuangan India bisa menembus US$ 100,6 miliar per tahun atau 3,2% dari PDB.
(mae/mae)