Jokowi Perjuangkan 'Sembako' dan Pupuk Rusia, Ada Apa?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
28 June 2022 15:25
Di sela-sela pelaksanaan G7, Presiden Joko Widodo bertemu dengan PM Inggris Boris Johnson di Elmau, Senin 27 Juni 2022. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Di sela-sela pelaksanaan G7, Presiden Joko Widodo bertemu dengan PM Inggris Boris Johnson di Elmau, Senin 27 Juni 2022. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo tengah meminta dukungan negara G7 untuk mengupayakan perdamaian Rusia-Ukraina dan mencari solusi dalam menghadapi krisis pangan yang kian menjadi. Berbicara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Jerman, Jokowi secara terang-terangan meminta kepada pimpinan negara G7 untuk tidak mengenakan sanksi terhadap komoditas pangan dan pupuk dari Rusia.

"G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk atasi krisis pangan ini. Mari kita tunaikan tanggung jawab kita, sekarang, dan mulai saat ini," kata Jokowi, seperti dikutip Selasa (28/6/2022).

Pangan adalah permasalahan Hak Asasi Manusia yang paling dasar. Para perempuan dari keluarga miskin dipastikan menjadi yang paling menderita menghadapi kekurangan pangan bagi anak dan keluarganya.

Jokowi menginginkan agar kebijakan untuk tidak mengenakan sanksi tersebut disampaikan secara proaktif kepada publik dunia serta tidak terjadi keraguan yang berkepanjangan di publik internasional.

Usaha Kepala Negara dalam membela Hak Asasi Manusia yang paling dasar ini tentunya menjadi sorotan. Bukan tanpa alasan Jokowi menegaskan, bahwa negara G7 dan G20 perlu melakukan upaya bersama mengatasi krisis pangan yang saat ini mengancam negara berkembang.

Perang yang berkepanjangan akan menyebabkan kenaikan harga pangan dan membebani kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Menurut data Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia pada 2021 memang melemah dibanding tahun sebelumnya. GFSI mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2020 mencapai level 61,4. Namun, pada 2021 indeksnya turun menjadi 59,2.

Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara.

GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Pasca terjadinya perang, beberapa komoditas dari Rusia maupun Ukraina ikut terganggu. Terganggunya pasokan memunculkan kelangkaan dan harga pun akan mengalami kenaikan.

Seberapa bergantungnya Indonesia kepada Rusia dan Ukraina?

Rusia

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai perdagangan Indonesia dengan Rusia mencapai US$ 2,74 miliar pada 2021 atau naik 42,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara nilai impor Indonesia dari Rusia US$ 1,25 miliar.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahunan, volume impor barang Indonesia dari Rusia seberat 3,16 juta ton dengan nilai US$ 1,25 miliar atau setara Rp 17,98 triliun sepanjang 2021.

Impor terbesar Indonesia dari Rusia berupa ingot besi baja (bahan baku baja) sebesar 486 ribu ton dengan nilai US$ 326, juta sepanjang 2021. Impor terbesar berikutnya adalah pupuk buatan pabrik 974,32 ribu ton dengan nilai US$ 326,03 juta.

Jika dilihat dari komoditas yang diimpor Indonesia, pada kenyataannya Indonesia masih mengandalkan impor sebagian bahan baku pupuk dari Rusia. Negara yang dipimpin oleh Presiden Vladimir Putin ini dikenal sebagai pemasok utama bahan baku pupuk seperti kalium.

Oleh karena itu, Jokowi menaruh perhatian besar terhadap dampak perang pada rantai pasok pangan dan pupuk. Jika gagal dalam menangani hal ini, tentu dampaknya bisa berkepanjangan.

"Khusus untuk pupuk, jika kita gagal menanganinya, maka krisis beras yang menyangkut 2 miliar manusia terutama di negara berkembang dapat terjadi," kata Jokowi.

Jokowi dalam kesempatan tersebut telah menyerukan kepada negara G7 dan G20 untuk bersama-sama mengatasi krisis pangan yang saat ini mengancam rakyat di negara-negara berkembang jatuh ke jurang kelaparan dan kemiskinan ekstrem.

Ukraina

Ukraina adalah salah satu mitra dagang Indonesia di kawasan Eropa. Impor terbesar Indonesia dari negara yang sedang berperang dengan Rusia tersebut adalah komoditas gandum.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai total impor Indonesia dari Ukraina selama periode Januari-November 2021 mencapai US$ 1,01 miliar. Volume impor gandum dan meslin pada periode tersebut berjumlah 3,18 juta ton atau 94,37% dari total volume impor. Adapun nilai impor gandum dan meslin ini mencapai US$ 897,7 juta atau 88,61% dari total nilai impor.

Selanjutnya, barang yang diimpor Indonesia dari negara yang dipimpin oleh Presiden Volodymyr Zelensky ini adalah ingot besi baja seberat 52,38 ribu ton dengan nilai US$ 25,19 juta.

Khusus serealia, Ukraina adalah salah satu pemasok terbesar di Indonesia. Tahun lalu, serealia dari Ukraina menyumbang 23,23% dari total nilai impor komoditas tersebut. Nomor dua, hanya kalah dari Australia.

Di dalam negeri, industri pengguna gandum, yakni tepung terigu sebenarnya sudah menaikkan harga, sebelum perang Rusia-Ukraina pecah. Produsen terigu nasional mengaku masih belum terjadi kepanikan atau tren kenaikan harga terigu lanjutan akibat perang.

Hanya saja, importir gandum khusus untuk pakan ternak mengaku, telah kesulitan melakukan pembelian untuk kuartal-II tahun 2022. Itu pun dengan harga fantastis. Kondisi ini dikhawatirkan memicu kenaikan harga pakan ternak yang saat ini juga sedang dalam tren naik.

Produksi pangan Indonesia belum bisa diharapkan. Untuk mencapai swasembada pangan memang bukan perkara mudah. Tapi, Indonesia harus mempersiapkan dengan maksimal.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular