Utang China Dibilang Jebakan Betmen, Utang Amerika Sama Saja?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kelompok negara kaya G7 berencana menggulirkan program "Partnership for Global Infrastructure and Investment" untuk mendanai proyek infrastruktur di berbagai belahan dunia.
Namun, langkah tersebut dinilai hanya upaya untuk membendung pengaruh China. Kelompok G7 diharapkan lebih berperan dalam menyelesaikan persoalan besar dunia saat ini yakni utang negara miskin yang terus menumpuk daripada menyediakan dana infrastruktur.
Di bawah "Partnership for Global Infrastructure and Investment", tujuh negara yakni Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris, Jepang, Kanada, Italia dan Prancis akan mengumpulkan US$ 600 miliar (sekitar Rp 8.900 triliun) untuk membangun infrastruktur di berbagai belahan dunia.
Dana tersebut diharapkan bisa meningkatkan kualitas infrastruktur negara-negara berkembang dan miskin sehingga pertumbuhan global bisa lebih cepat.
AS akan memobilisasi US$ 200 miliar dalam bentuk hibah, dana federal, dan investasi swasta selama lima tahun ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara itu, negara-negara Eropa akan memobilisasi EUR 300 miliar selama periode yang sama.
"Saya ingin memperjelas. Ini bukan bantuan atau amal. Ini adalah investasi yang akan memberikan keuntungan bagi semua orang. Kita ingin melihat manfaat nyata dari bermitra dengan demokrasi," kata Presiden AS Joseph 'Joe' Biden, seperti dikutip dari Reuters.
Langkah G7 menimbulkan banyak yang pro dan kontra. Sebagian menganggap alternatif G7 positif karena bisa menambah sumber pembiayaan infrastruktur di dunia
Namun, tidak sedikit yang menganggap langkah tersebut sebagai cara G7 membendung program program Belt and Road Initiative (BRI). Program yang digagas China sejak 2014 tersebut bertujuan menyalurkan dana infrastruktur ke berbagai belahan dunia.
Edwin Ikhuoria, eksekutif direktur ONE, mengingatkan bahwa yang dibutuhkan banyak negara saat ini adalah keringanan utang. ONE merupakan organisasi nirlaba yang berjuang untuk mengurangi kemiskinan dan penyakit.
Alih-alih menyalurkan dana infrastruktur, Ikhuoria meminta G7 untuk membebaskan atau meringankan beban utang negara miskin. Dia juga meminta kreditur swasta dari negara G7 untuk melakukan hal yang sama. Ikhuoria mengatakan negara-negara miskin ini terjebak dalam utang yang dipinjamkan oleh kreditur swasta seperti BlackRock.
"Negara-negara miskin ini menghabiskan banyak anggaran untuk membayar BlackRock daripada untuk sektor kesehatan dan pendidikan," tutur Ikhuoria, kepada Deutsche Welle.
Ketika pandemi Covid-19 melanda pada Maret 2020, utang 60% negara termiskin di dunia sudah dalam kondisi risiko tinggi. Dua setengah tahun sejak pandemi, tumpukan utang mereka sudah sampai ke level tertingginya dalam 50 tahun terakhir. Puluhan dari mereka masuk risiko default seperti Sri Lanka.
Negara-negara ini membentang dari Asia hingga Sub-Sahara Afrika. Perekonomian mereka yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi kini diperburuk dengan perang Rusia Ukraina yang memaksa mereka berjuang melawan lonjakan inflasi. Negara-negara ini bahan terpaksa berhutang demi memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti pangan.
Ikhurio mengingatkan bantuan pembangunan infrastruktur kerap dijanjikan negara kaya dan organisasi internasional. Namun, janji bantuan tersebut kerap hanya menimbulkan hype di mata public. Janji dana tersebut acap kali tidak sampai atau gagal terpenuhi.
"Saatnya mereka menjadikan janji yang sekarang sebagai kenyataan bukan hanya visi semata. Dengan kemampuannya, mereka tentu saja bisa menyalurkan ratusan juta," ujar Ikhuoria.
Sebagai catatan, sebelum "Partnership for Global Infrastructure and Investment"yang dijanjikan anggota G7 pekan ini, pada November 2021 AS bersama G7 juga meluncurkan program Build Back Better World yang bertujuan membantu pembangunan infrastruktur di Afrika.
Senada, eksekutif dari Aspen Institute Germany Stormy-Annika Mildner mengatakan banyak hal yang bisa dilakukan anggota G7 daripada hanya menyediakan dana pembangunan infrastruktur.
"Jika kita serius bahwa negara-negara lain tidak ingin beralih ke China dan Rusia maka mereka harus memberikan kontribusi finansial dan memberikan keringanan utang," tuturnya.
Sejumlah pihak juga mengatakan G7 bisa berperan lebih dalam mengurangi beban negara miskin yakni dengan mereformasi Dana Moneter Internasional (IMF) daripada menyalurkan dana infrastruktur. Negara G7 adalah pemegang saham mayoritas di IMF dan Bank Dunia, serta pemain kunci kreditor Paris Club.
Mereka bisa membantu negara-negara miskin dengan mereformasi IMF. Sejak pandemi Covid-19, IMF sudah memberikan pinjaman kepada 150 negara tetapi pinjaman mereka kerap disertai syarat ketat sehingga membuat negara tidak bebas dalam menentukan kebijakan fiskalnya.
(mae/mae)