Pajak Karbon Batal Berlaku 1 Juli, Sri Mulyani Buka Suara

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Senin, 27/06/2022 17:50 WIB
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani (Tangkapan layar)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon (carbon tax) yang rencananya akan berlangsung pada 1 Juli 2022, dari yang seharusnya 1 April 2022. Pemerintah masih melihat faktor ketidakpastian global dan menunggu kesiapan pelaku industri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, alasan penundaan pajak karbon karena perekonomian di dalam negeri masih dibayangi ketidakpastian global, yang membuat harga energi masih tinggi.


Pemerintah memutuskan untuk mencari waktu yang tepat, dengan mempertimbangkan kondisi domestik dan global dalam menerapkan pajak karbon. Di saat bersamaan kata Sri Mulyani, pemerintah tetap menyusun regulasinya.

"Climate change adalah concern yang penting bagi dunia dan kita sendiri. Kita lihat timingnya, kita lihat sekarang ini dengan gejolak di sektor energi kita harus calculated mengenai penerapannya," jelas Sri Mulyani saat ditemui di DPR, Senin (27/6/2022).

"Penerapannya harus tetap positif untuk ekonomi kita sendiri terutama nanti diversifikasi energi, namun pada saat yang sama mengatasi ketidakpastian yang berasal dari global, terutama harga-harga energi yang sedang bergejolak," kata Sri Mulyani melanjutkan.

Saat ini, negara-negara Eropa lebih banyak menggunakan batu bara sebagai bahan bakar karena Rusia tak lagi mengekspor minyak maupun gas kepada negara barat akibat sanksi ekonomi. Dengan demikian, penerapan pajak karbon perlu mempertimbangkan hal itu.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menambahkan penundaan pajak karbon, bukan hanya masalah memajaki emisinya dengan cap trade, namun pajak karbon diterapkan agar setiap sektor yang diemisikan siap.

"Jadi tiap sektor dibikinin berapa yang perlu diemisikan tiap sektor, terus kemudian dibikin pasar karbonnya sehingga yang menghasilkan emisi bisa nyari carbon credit di situ," jelas Suahasil dalam kesempatan yang sama.

"Ini bukan masalah penerimaan, ini masalah ekosistem. Kita perhatikan kesiapan keseluruhan ekosistemnya," kata Suahasil melanjutkan.

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pajak Karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada 2022 sesuai amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Ia mengatakan pemerintah tetap berupaya mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan Pajak Karbon.

Proses penyempurnaan peraturan pendukung tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.

Seperti diketahui, dalam jangka menengah, Pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions-NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.


(cap/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: APBN Mei 2025 Defisit Rp 21T, Menkeu Klaim Masih Kecil