Inflasi RI Aman Meski BI "Nyuntik" Rp 800 T, Apa Rahasianya?

Jakarta, CNBC Indonesia - "Tsunami" inflasi sedang melanda negara Barat, dan beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan negara tetangga, Singapura, juga mengalaminya.
Kemarin data dari Biro Statistik Singapura menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) tumbuh 5,6% year-on-year (yoy), dari bulan sebelumnya 5,4% (yoy). Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir, tepatnya sejak November 2011.
Inflasi inti juga semakin menanjak menjadi 3,6% (yoy) dibandingkan April 3,3% (yoy).
Sementara Indonesia sejauh ini sukses mengendalikan inflasi. Di awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Indonesia pada Mei 2022 sebesar 3,55% (yoy) yang menjadi rekor tertinggi sejak Desember 2017.
BPS juga mencatat inflasi inti pada Mei menyentuh 2,58% (yoy), melandai dibandingkan April yang menembus 2,60% (yoy).
Meski menanjak, inflasi tersebut masih berada dalam rentang target Bank Indonesia (BI) sebesar 2% - 4%. Gubernur BI, Perry Warjiyo, memprediksi di akhir tahun ini inflasi berada di kisaran 4,2%.
Artinya, meski sedikit lebih tinggi dari target, tetapi masih bisa dikatakan terkendali.
Terkendalinya inflasi di Indonesia bahkan terjadi saat BI menyuntikkan likuiditas besar ke perekonomian melalui kebijakan burden sharing dengan pemerintah.
Seperti diketahui, dalam menangani pandemi penyakit virus corona (Covid-19), BI membantu pemerintah dalam pendanaan APBN melalui skema burden sharing. BI menjadi standby buyer Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer.
Skema burden sharing ini sudah dilakukan sejak awal pandemi Covid-19, dan akan berakhir tahun ini.
Pada tahun 2020, BI telah membeli SBN dalam skema burden sharingsebesar Rp 473,42 triliun. Sepanjang 2021, BI telah membeli SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 358,32 triliun.
Artinya selama 2020 dan 2021 BI menyuntikkan likuiditas sekitar Rp 830 triliun ke perekonomian. Dan di tahun ini, BI menargetkan pembelian SBN senilai Rp 224 triliun.
Burden sharing yang dilakukan BI sejak 2020 dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi. Tetapi, nyatanya tidak terjadi atau masih belum terjadi hingga saat ini.
Penggunaan skema burden sharing didasarkan pada kelompok pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit.
Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (k/l) dan pemerintah daerah (pemda).
Yang menarik, dengan besarnya burden sharing dan disuntikkan ke masyarakat, inflasi di dalam negeri masih saja tetap rendah.Sepanjang 2020 inflasi hanya sebesar 1,68%, cukup jauh di bawah target BI 3% plus minus 1%. Sementara pada 2021 inflasi tercatat sebesar 1,87%, lagi-lagi di bawah target BI.
Apakah ini artinya BI sukses mengendalikan inflasi? Atau daya beli masyarakat memang sangat terpukul akibat akibat pandemi Covid-19, sehingga suntikan likuiditas BI masih belum mampu mendongkrak belanja?
Jika itu yang terjadi, burden sharing sepertinya tidak berdampak signifikan ke inflasi. Tetapi, seandainya masyarakat menahan konsumsi dalam 2 tahun terakhir, ada risiko belanja besar baru akan terjadi di tahun ini dan inflasi berisiko meroket.
Selama pandemi Covid-19, roda perekonomian tersendat-sendat. Pemerintah berulang kali mengetatkan maupun mengendurkan pembatasan sosial. Dipenuhi ketidakpastian, ada kemungkinan masyarakat menahan konsumsi.
Sementara di tahun ini, pembatasan sosial sudah dilonggarkan dan roda perekonomian sehingga masyarakat tentunya lebih berani meningkatkan belanja rumah tangga
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Sedot Likuiditas, Jaga Nilai Tukar Rupiah