
Rakyat Butuh Sembako Murah! Jangan BBM Aja yang Dipikirin...

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah berupaya menekan defisit anggaran agar lebih kecil dari pada yang ditetapkan dalam APBN 2022. Namun, ada sejumlah pos anggaran yang kini justru membutuhkan tambahan belanja sehingga defisit tidak bisa ditekan seperti yang direncanakan.
APBN hingga Mei 2022 masih mencatatkan surplus sebesar Rp triliun atau 0,74% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran atau SiLPA juga masih menumpuk Rp 215 triliun.
Kondisi tersebut membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani optimis bahwa realisasi defisit anggaran kemungkinan akan lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam APBN yakni Rp 868 triliun atau 4,85% dari PDB. Dengan ruang defisit yang lebih longgar, pemerintah sebenarnya masih bisa menambah anggaran untuk subsidi atau pos anggaran lainnya. Namun, pemerintah juga berjanji akan membawa defisit pelan-pelan ke bawah 3,0% dari PDB atau sesuai ketentuan Undang-undang mulai 2023.
Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan sejumlah pos anggaran sebenarnya membutuhkan tambahan belanja, terutama subsidi pupuk yang masuk dalam anggaran kedaulatan pangan. Pasalnya, harga pupuk melonjak tajam. Rusia merupakan pemasok utama pupuk sehingga harga pupuk pun langsung melonjak begitu perang meletus.
"Alokasi subsidi BBM sudah sangat besar, yang perlu diamankan itu pangan. Subsidi pupuk tetap Rp 25 triliun padahal harga pupuk sangat tinggi. Kalau tidak ada tambahan subsidi maka harga pangan sangat tinggi," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran kedaulatan pangan termasuk subsidi pupuk terus menurun tiap tahunnya. Pada 2015, realisasi anggaran tersebut tercatat Rp 111,6 triliun sementara pada 2016 sebesar Rp 100,7 triliun, pada 2017 sebesar Rp 101,6 triliun, 2018 sebesar Rp 105,4 triliun, 2019 sebesar Rp 100,2 triliun, dan pada 2020 sebesar Rp 73,6 triliiun. Sementara itu, pada APBN 2021 dan 2022 dianggarkan sebesar Rp 99 triliun dan Rp 92,2 triliun.
Peringatan serupa sudah disampaikan Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daniel Johan. Dia mengingatkan lonjakan harga pupuk akan sangat memberatkan, baik bagi petani ataupun konsumen. Bagi petani, keuntungan mereka menipis atau bahkan tidak ada sama sekali. Sementara itu, masyarakat akan membayar produk pangan lebih mahal sehingga inflasi bisa naik.
Melansir data Trading Economics, harga urea urea-ammonium mencapai EUR 582,50 per ton per kemarin. Harga tersebut sudah melonjak 133% dalam setahun.
"Yang paling mengkhawatirkan itu harga pupuk. Ini dampaknya sangat serius kepada petani. Saat ini kita belum merasakan karena stok pangan yang ada adalah hasil panen sebelumnya. Dengan harga pupuk yang sekarang mahal, hasil panen kemudian juga akan mahal," tutur Daniel Johan, dalam Profit , CNBC Indonesia (Selasa, 21/06/2022).