Uraa! Rubel Capai Posisi Terkuat dalam 7 Tahun, Ini Alasannya
Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah hujan sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya kepada Rusia akibat serangannya ke Ukraina, mata uang negara itu, rubel, justru terus menunjukkan keperkasaannya.
Pada Rabu (23/6/2022), nilai tukar rubel telah mencapai 52,3 per dolar AS, sekaligus menjadi yang terkuat sejak Mei 2015.
Kondisi itu pun jauh dari awal Maret lalu, di mana nilai tukar rubel hanya 139 per dolar AS. Kala itu, AS dan Eropa baru mulai menjatuhkan sejumlah sanksi.
Kuatnya mata uang rubel tersebut membuat Kremlin seakan memiliki 'bukti' bahwa sanksi Barat tersebut tidak mempan terhadap Rusia.
"Idenya jelas, hancurkan ekonomi Rusia secara brutal," tutur Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan tahunan St. Petersburg International Economic Forum. "Mereka tidak berhasil. Yang jelas, itu (tujuan pengenaan sanksi) tidak terjadi."
Pada akhir Februari, setelah kejatuhan awal rubel dan empat hari setelah serangan ke Ukraina pada 24 Februari, Rusia menggandakan suku bunga utama negara itu menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Sejak itu, rubel terus menguat sehingga Negeri Beruang Merah kembali menurunkan suku bunganya sebanyak tiga kali hingga mencapai 11%.
Bahkan, rubel dinilai terlalu kuat sehingga Bank Sentral Rusia secara aktif mengambil tindakan untuk melemahkannya. Jika tidak, hal itu akan membuat ekspor mereka kurang kompetitif.
Lalu, apa yang membuat rubel begitu perkasa dan apakah hal itu dapat terus bertahan. Berikut adalah analisis terkait kekuatan rubel, melansir CNBC International, Kamis (23/6/2022):
Rusia meraup rekor pendapatan minyak dan gas
Rusia adalah pengekspor gas terbesar di dunia dan pengekspor minyak terbesar kedua. Pelanggan utamanya adalah Uni Eropa, yang telah membeli energi Rusia senilai miliaran dolar per minggu sambil secara bersamaan mencoba menghukumnya dengan sanksi.
Itu menempatkan UE di tempat yang canggung karena kenyataannya telah mengirim lebih banyak uang ke Rusia dalam pembelian minyak, gas, dan batu bara daripada mengirim bantuan ke Ukraina. Dan dengan harga minyak mentah Brent 60% lebih tinggi daripada saat ini tahun lalu, meskipun banyak negara Barat telah membatasi pembelian minyak Rusia mereka, Moskow masih membuat rekor keuntungan.
Menurut Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, dalam 100 hari pertama perang Rusia-Ukraina, Federasi Rusia meraup pendapatan US$ 98 miliar dari ekspor bahan bakar fosil. Lebih dari setengah pendapatan itu berasal dari UE, sekitar US$ 60 miliar.
Adapun, upaya UE untuk mengurangi ketergantungan impor energi Rusia membutuhkan waktu bertahun-tahun. Pasalnya, berdasarkan data Eurostat, UE mengimpor 41% gas dan 36% minyak dari Rusia.
Sementara itu, sanksi embargo minyak Rusia sejauh ini masih belum berlaku secara penuh. Bahkan, minyak yang diimpor melalui pipa untuk sejumlah negara seperti Hungaria dan Slovenia masih diperbolehkan.
"Nilai tukar yang Anda lihat untuk rubel ada karena Rusia menghasilkan rekor surplus transaksi berjalan dalam valuta asing," tutur Max Hess, seorang rekan di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri, kepada CNBC.
Pendapatan itu sebagian besar dalam dolar dan euro melalui mekanisme pertukaran rubel yang kompleks.
"Meskipun Rusia mungkin menjual sedikit lebih sedikit ke Barat sekarang, karena Barat bergerak untuk memutuskan [ketergantungan pada Rusia], mereka masih menjual satu ton dengan harga minyak dan gas yang tinggi sepanjang masa. Jadi ini membawa surplus transaksi berjalan yang besar," imbuhnya.
Adapun, surplus transaksi berjalan Rusia dari Januari hingga Mei tahun ini lebih dari US$ 110 miliar, atau sekitar 3,5 kali dari periode yang sama tahun lalu.
(luc/luc)