Duh Gak Habis-habis! Ada Kabar Buruk Lagi dari Amerika

Indonesia masih jauh dari resesi, setidaknya untuk saat ini. Salah satu penyebabnya inflasi di Indonesia yang masih terjaga. Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini melaporkan inflasi Mei tumbuh 3,55% (yoy) naik dari bulan sebelumnya 3,47% (yoy).
Namun, inflasi inti bulan Mei melambat menjadi 2,58%(yoy), dari bulan sebelumnya 2,6% (yoy).
Inflasi inti merupakan acuan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, dengan mulai melandai maka tekanan untuk menaikkan suku bunga juga tidak besar. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,1%, masih cukup tinggi meski dipangkas dari proyeksi sebelumnya 5,2%.
Pemangkasan tersebut terbilang sangat kecil jika dibandingkan negara-negara lain. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 2,9%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah ketimbang yang diberikan pada Januari lalu sebesar 4,1%.
Untuk Amerika Serikat, proyeksi PDB-nya juga dipangkas menjadi sebesar 1,2% menjadi 2,5% saja. Begitu juga dengan China, proyeksi PDB 2022 dipangkas sebesar 0,8% menjadi 4,3%.
Selain itu, perang Rusia Vs Ukraina menjadi salah satu pemicu lonjakan harga komoditas dunia yang memicu "tsunami inflasi. Namun, Indonesia justru diuntungkan, ditandai peningkatan pendapatan negara.
Bank Dunia juga mengatakan negara eksportir komoditas seperti Indonesia dan Malaysia akan mencatatkan performa ekonomi yang sangat baik tahun ini. Pertumbuhan Indonesia dan Malaysia akan melampaui negara-negara tetangga yang berstatus net importir seperti Thailand.
"Penerimaan negara yang melimpah di tengah kenaikan harga komoditas akan membuat Indonesia bisa melakukan pengetatan fiskal secara moderat dalam jangka menengah," tutur Bank Dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bulan lalu mengatakan pemerintah akan mendapatkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 420 triliun sebagai dampak lonjakan harga komoditas. Melimpahnya penerimaan membuat pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk kalangan tidak mampu.
Kondisi tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan sejumlah negara yang tengah dipusingkan dengan kenaikan harga energi.
Harga BBM yang tidak naik akan sangat berperan besar dalam meredam inflasi Indonesia, sehingga konsumsi rumah tangga bisa terjaga untuk memutar roda perekonomian, dan menghindarkan dari resesi.
Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar PDB, di tahun 2021 persentasenya mencapai 54,42%, disusul dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang porsinya lebih dari 30%.
Meski demikian, ketika Amerika Serikat mengalami resesi, Indonesia juga akan terkena dampaknya. Ekspor barang dan jasa yang menyumbang PDB sebesar 15% di 2021 bisa mengalami penurunan sehingga berdampak negatif ke PDB.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/mij)[Gambas:Video CNBC]
