Duh Gak Habis-habis! Ada Kabar Buruk Lagi dari Amerika

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi di Amerika Serikat (AS) sepertinya masih akan terus tinggi dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini tidak lepas dari inflasi produsen (producer price index/PPI) yang masih tinggi. Ketika inflasi produsen tinggi, maka harga juga ke konsumen akan meningkat. Hal ini akan berdampak pada inflasi (consumer price index/CPI).
Biro Statistik AS Selasa kemarin melaporkan PPI di bulan Mei tumbuh 0,5% month-to-month (mtm), dan 10,8% year-on-year (yoy). PPI secara tahunan sebenarnya sudah turun dalam dua bukan beruntun, tetapi masih dekat rekor tertinggi sepanjang masa 11,5% (yoy) yang tercatat pada Maret lalu.
Sementara itu, Jumat pekan lalu CPI di Amerika Serikat (AS) masih terus menanjak, pada Mei 2022 tercatat melesat 8,6% (yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Meski demikian, CPI inti yang tidak memasukkan item energi dan makanan justru kembali turun menjadi 6% (yoy) dibandingkan April sebesar 6,2% (yoy). CPI inti sudah turun dalam dua bulan beruntun setelah mencapai 6,5% (yoy) pada Maret lalu.
Penurunan CPI inti tersebut bisa menjadi sinyal demand mulai menurun. Artinya, konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian AS mulai tertahan laju. Inflasi yang tinggi membuat daya beli masyarakat menurun, belum lagi bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan federal funds rate (suku bunga acuan), yang membuat suku bunga kredit ikut menanjak.
Sinyal kuat Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi juga kembali muncul.
Yield obligasi AS (Treasury) kembali mengalami inversi Senin kemarin. Artinya sepanjang tahun ini, sudah 2 kali inversi terjadi.
Inversi tersebut terjadi setelah yield Treasury tenor 2 tahun lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun, meski hanya berlangsung sesaat. Dalam kondisi normal, yield tenor lebih panjang akan lebih tinggi, ketika inversi terjadi posisinya terbalik.
Sebelumnya inversi juga terjadi di bulan April lalu, dan menjadi sinyal kuat akan terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 6 sampai 24 bulan ke depan.
Berdasarkan survei Bloomberg Markets Live pada periode 29 Maret hingga 1 April lalu, sebanyak 48% pelaku pasar melihat Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di 2023, sebagaimana dikutip Statista.
Hal senada juga diungkapkan Jan Hatzius, ekonom dari bank investasi Goldman Sachs yang melihat probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi sebesar 35% tahun depan.
Wells Fargo Investment Institute bahkan memprediksi AS akan mengalami resesi di akhir tahun ini dan awal 2023.
Sementara itu mantan ketua bank sentral AS (The Fed) Ben Bernanke memperingatkan kemungkinan terjadinya stagflasi, yakni penurunan pertumbuhan ekonomi disertai inflasi yang tinggi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia Bisa Kena Dampaknya?
Indonesia masih jauh dari resesi, setidaknya untuk saat ini. Salah satu penyebabnya inflasi di Indonesia yang masih terjaga. Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini melaporkan inflasi Mei tumbuh 3,55% (yoy) naik dari bulan sebelumnya 3,47% (yoy).
Namun, inflasi inti bulan Mei melambat menjadi 2,58%(yoy), dari bulan sebelumnya 2,6% (yoy).
Inflasi inti merupakan acuan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, dengan mulai melandai maka tekanan untuk menaikkan suku bunga juga tidak besar. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,1%, masih cukup tinggi meski dipangkas dari proyeksi sebelumnya 5,2%.
Pemangkasan tersebut terbilang sangat kecil jika dibandingkan negara-negara lain. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 2,9%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah ketimbang yang diberikan pada Januari lalu sebesar 4,1%.
Untuk Amerika Serikat, proyeksi PDB-nya juga dipangkas menjadi sebesar 1,2% menjadi 2,5% saja. Begitu juga dengan China, proyeksi PDB 2022 dipangkas sebesar 0,8% menjadi 4,3%.
Selain itu, perang Rusia Vs Ukraina menjadi salah satu pemicu lonjakan harga komoditas dunia yang memicu "tsunami inflasi. Namun, Indonesia justru diuntungkan, ditandai peningkatan pendapatan negara.
Bank Dunia juga mengatakan negara eksportir komoditas seperti Indonesia dan Malaysia akan mencatatkan performa ekonomi yang sangat baik tahun ini. Pertumbuhan Indonesia dan Malaysia akan melampaui negara-negara tetangga yang berstatus net importir seperti Thailand.
"Penerimaan negara yang melimpah di tengah kenaikan harga komoditas akan membuat Indonesia bisa melakukan pengetatan fiskal secara moderat dalam jangka menengah," tutur Bank Dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani bulan lalu mengatakan pemerintah akan mendapatkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 420 triliun sebagai dampak lonjakan harga komoditas. Melimpahnya penerimaan membuat pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk kalangan tidak mampu.
Kondisi tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan sejumlah negara yang tengah dipusingkan dengan kenaikan harga energi.
Harga BBM yang tidak naik akan sangat berperan besar dalam meredam inflasi Indonesia, sehingga konsumsi rumah tangga bisa terjaga untuk memutar roda perekonomian, dan menghindarkan dari resesi.
Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar PDB, di tahun 2021 persentasenya mencapai 54,42%, disusul dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang porsinya lebih dari 30%.
Meski demikian, ketika Amerika Serikat mengalami resesi, Indonesia juga akan terkena dampaknya. Ekspor barang dan jasa yang menyumbang PDB sebesar 15% di 2021 bisa mengalami penurunan sehingga berdampak negatif ke PDB.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gambaran Seramnya 2023: Ekonomi Stagnan, Inflasi Tinggi
