
Ini Bukti Nyata Indonesia Jadi 'Tumbal' Perang Rusia-Ukraina

I Gede Ngurah mengatakan perang Rusia-Ukraina telah menghilangkan potensi kenaikan ekspor dan investasi dari kedua negara. "Sebelum perang ada peningkatan (ekspor) yang signifikan tetapi potensi ekspor hilang," tuturnya.
Kementerian Luar Negeri akhir tahun lalu menggelar forum Indonesia-Central & Eastern Europe (INACEE) untuk meningkatkan ekspor ke kawasan Eropa Timur, termasuk Rusia dan Ukraina. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan ekspor Indonesia ke Rusia mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2019. Kala, ekspor Indonesia ke Rusia tercatat US$ 864,08 juta kemudian meningkat menjadi US$ 973,54 juta pada 2020 dan US$ 1,49 miliar tahun lalu.
Sementara itu, ekspor Ke Ukraina pada 2019 tercatat US$ 256,10 juta. Kemudian menjadi US$ 223,86 juta pada 2020 dan US$ 416 juta tahun lalu.
![]() |
Namun, perang membuat pengiriman barang Indonesia ke Rusia terhambat. Pada Januari-April 2022, Indonesia mencatatkan defisit US$ 217,2 juta dengan Rusia. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 48,3 juta.
Sama dengan Rusia, Indonesia juga mencatatkan defisit neraca perdagangan dengan Ukraina sebesar US$ 23,3 padahal pada periode yang sama tahun lalu, Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 69 juta.
"Di sini kiat melihat konflik Rusia-Ukraina merugikan karena membuat kita defisit," ujar kepala BPS Margo Yuwono, bulan lalu.
Pengamat militer dan pertahanan keamanan Connie Rahakundini Bakrie meminta pemerintah untuk menyiapkan scenario terburuk terhadap konflik Rusia-Ukraina. Pasalnya, sejarah membuktikan konflik antar negara Eropa biasanya berlangsung lama. Dia mencontohkan Perang Utara Besar yang melibatkan Kekaisaran Rusia dan Swedia pada 1700-an berlangsung lebih dari 21 tahun.
Sanksi ekonomi terhadap sebuah negara juga tidak terlalu efektif sehingga kekuatan Rusia belum tentu melemah dalam waktu dekat. Sanksi malah membuat negara yang dikenai sanksi lebih kuat seperti apa yang terjadi di Iran.
"Sanksi tidak membuat sebuah negara mati tapi kuat terlebih Rusia sudah mengalami jatuh bangun dari zaman kekaisaran," ujarnya dalam diskusi LPPI.
Senada, I Gede Ngurah juga memperkirakan konflik Rusia- Ukraina akan berlangsung lama sehingga Indonesia harus mengantisipasinya. Antisipasi terutama dilakukan untuk menghadapi dampak sanksi Eropa ke Rusia. Termasuk di dalamnya adalah sanksi pembayaran SWIFT.
"Pelajaran penting dari konflik ini adalah ketergantungan Indonesia terhadap sistem pembayaran. Hal ini memerlukan kajian apabila situasi yang sama terjadi lagi maka Indonesia harus memiliki alternatif dalam sistem pembayaran," tutur I Gede Ngurah.
Sebelumnya, Ketua Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan pemerintah sudah seharusnya memiliki contigency plan dalam mengamankan komoditas pangan dalam kondisi terburuk, termasuk perang. Contigency plan termasuk menemukan substitusi impor barang ataupun negara pemasok alternatif jika terjadi kondisi di luar dugaan.
Hariyadi menjelaskan impor bahan bangan juga perlu dilakukan bila benar-benar dibutuhkan atau ketersediaan di dalam negeri tidak mencukupi. Namun, impor tidak boleh menimbulkan kegaduhan sehingga harus dibangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]