
Ini Bukti Nyata Indonesia Jadi 'Tumbal' Perang Rusia-Ukraina

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan bisa berdampak besar kepada Indonesia mulai dari kenaikan harga makanan, minyak mentah pupuk, hingga hilangnya potensi ekspor.
Jarak Ukraina, Rusia, dan Indonesia terpisah sekitar 9.500 km lebih. Namun, perang yang melibatkan kedua negara tersebut mulai berimbas kepada jutaan rakyat Indonesia. Tidak hanya pembuat roti di Jakarta, imbas perang Rusia-Ukraina juga dirasakan petani di pelosok karena harga pupuk yang terancam meningkat tajam.
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri I Gede Ngurah Swajaya mengingatkan perang Rusia-Ukraina bisa membuat masyarakat Indonesia, terutama petani, terancam.
"Ada satu hal yang sangat mengancam rakyat Indonesia, khususnya terkait ketahanan pangan, yakni sebagian besar supply untuk produksi pupuk Indonesia berasal dari Belarusia dan Rusia," tutur I Gede Ngurah pada diskusi LPPI Virtual Seminar #76 : Krisis Geopolitik dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia, Selasa (31/5/2022).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pupuk adalah tiga komoditas utama yang diimpor Indonesia dari Rusia selain besi dan baja serta bahan bakar mineral. Pada 2021, Indonesia mengimpor pupuk senilai US$ 326,1 juta dari Rusia sementara pada Januari-Februari tahun ini sebesar US$ 95,6 juta.
I Gede Ngurah mengatakan impor pupuk dari Rusia memang masih bisa dilakukan di tengah konflik. Pupuk juga tidak masuk dalam komoditas yang dikenai sanksi. Namun, perang membuat sebagian jalur diblokade sehingga jalur logistik terganggu.
Persoalan lain adalah terkait pembayaran. Negara Barat sudah mengeluarkan dari sistem keuangan dunia Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) sebagai bagian dari sanksi ekonomi ke Negeri Beruang Merah. Sanksi tersebut tentu saja menyulitkan negara lain jika bertransaksi dengan Rusia.
"Secara logistik kemampuan Indonesia untuk mendatangkan pupuk ataupun pangan dari wilayah konflik juga menjadi hambatan yang luar biasa," imbuhnya.
![]() |
Perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan juga akan membuat sejumlah komoditas pangan melonjak. BPS, Kamis (2/6/2022), sudah mengingatkan perang sudah membuat harga pangan impor merangkak naik mulai dari kedelai, tepung terigu, hingga gandum.
Tidak hanya di sektor pangan, komoditas energi juga bisa bergerak liar jika perang Rusia-Ukraina terus berlanjut. Harga minyak mentah menjadi yang paling banyak disorot saat ini. Perang Rusia-Ukraina membawa harga minyak Brent kembali ke level US$ 100 per barel. Harga minyak Brent juga melonjak 60% lebih dalam setahun terakhir.
Rencana sanksi Eropa untuk melarang impor minyak mentah Rusia bahkan sudah membuat harga komoditas tersebut melambung. Pada pagi hari ini, harga minyak Brent ada di kisaran US$ 117 per barel, atau melonjak 63% dalam setahun.
Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan Indonesia secara umum diuntungkan dari kenaikan harga komoditas sebagai dampak meletusnya perang Rusia-Ukraina. Pasalnya, Indonesia adalah penghasil komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah, hingga nikel yang harganya ikut melambung karena perang.
Namun, jika perang tidak juga surut, Indonesia juga akan terdampak besar karena harga minyak kemungkinan terus melonjak. Pemerintah memang sudah berkomitmen untuk tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk menjaga inflasi dan daya beli. Namun, David mengingatkan persoalan besar akan timbul jika harga minyak mentah terus melonjak dan melewati US$ 140 per barel.
"Yang jadi masalah jika perang terus berkepanjangan dan meluas. Akan ada pukulan di harga energi sehingga subsidi bisa saja tidak cukup. Kalau harga minyaknya sampai US$ 140 per barel, gapnya akan semakin besar. Inflasi bisa meningkat," tuturnya.
UOB dalam laporannya Indonesia: Revising Our Inflation-GDP Outlook Amidst Uncertainty menghitung besarnya dampak kenaikan harga minyak ke inflasi. Setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 10 per barel maka inflasi bisa terdongkrak 1,9 poin persentase (ppt) pada tahun berjalan. Namun, dalam jangka pendek, dampak tersebut hanya berkisar 0,3 ppt.
I Gede Ngurah mengatakan perang Rusia-Ukraina telah menghilangkan potensi kenaikan ekspor dan investasi dari kedua negara. "Sebelum perang ada peningkatan (ekspor) yang signifikan tetapi potensi ekspor hilang," tuturnya.
Kementerian Luar Negeri akhir tahun lalu menggelar forum Indonesia-Central & Eastern Europe (INACEE) untuk meningkatkan ekspor ke kawasan Eropa Timur, termasuk Rusia dan Ukraina. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan ekspor Indonesia ke Rusia mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2019. Kala, ekspor Indonesia ke Rusia tercatat US$ 864,08 juta kemudian meningkat menjadi US$ 973,54 juta pada 2020 dan US$ 1,49 miliar tahun lalu.
Sementara itu, ekspor Ke Ukraina pada 2019 tercatat US$ 256,10 juta. Kemudian menjadi US$ 223,86 juta pada 2020 dan US$ 416 juta tahun lalu.
![]() |
Namun, perang membuat pengiriman barang Indonesia ke Rusia terhambat. Pada Januari-April 2022, Indonesia mencatatkan defisit US$ 217,2 juta dengan Rusia. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 48,3 juta.
Sama dengan Rusia, Indonesia juga mencatatkan defisit neraca perdagangan dengan Ukraina sebesar US$ 23,3 padahal pada periode yang sama tahun lalu, Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 69 juta.
"Di sini kiat melihat konflik Rusia-Ukraina merugikan karena membuat kita defisit," ujar kepala BPS Margo Yuwono, bulan lalu.
Pengamat militer dan pertahanan keamanan Connie Rahakundini Bakrie meminta pemerintah untuk menyiapkan scenario terburuk terhadap konflik Rusia-Ukraina. Pasalnya, sejarah membuktikan konflik antar negara Eropa biasanya berlangsung lama. Dia mencontohkan Perang Utara Besar yang melibatkan Kekaisaran Rusia dan Swedia pada 1700-an berlangsung lebih dari 21 tahun.
Sanksi ekonomi terhadap sebuah negara juga tidak terlalu efektif sehingga kekuatan Rusia belum tentu melemah dalam waktu dekat. Sanksi malah membuat negara yang dikenai sanksi lebih kuat seperti apa yang terjadi di Iran.
"Sanksi tidak membuat sebuah negara mati tapi kuat terlebih Rusia sudah mengalami jatuh bangun dari zaman kekaisaran," ujarnya dalam diskusi LPPI.
Senada, I Gede Ngurah juga memperkirakan konflik Rusia- Ukraina akan berlangsung lama sehingga Indonesia harus mengantisipasinya. Antisipasi terutama dilakukan untuk menghadapi dampak sanksi Eropa ke Rusia. Termasuk di dalamnya adalah sanksi pembayaran SWIFT.
"Pelajaran penting dari konflik ini adalah ketergantungan Indonesia terhadap sistem pembayaran. Hal ini memerlukan kajian apabila situasi yang sama terjadi lagi maka Indonesia harus memiliki alternatif dalam sistem pembayaran," tutur I Gede Ngurah.
Sebelumnya, Ketua Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan pemerintah sudah seharusnya memiliki contigency plan dalam mengamankan komoditas pangan dalam kondisi terburuk, termasuk perang. Contigency plan termasuk menemukan substitusi impor barang ataupun negara pemasok alternatif jika terjadi kondisi di luar dugaan.
Hariyadi menjelaskan impor bahan bangan juga perlu dilakukan bila benar-benar dibutuhkan atau ketersediaan di dalam negeri tidak mencukupi. Namun, impor tidak boleh menimbulkan kegaduhan sehingga harus dibangun komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Minyak Putin vs Barat Mulai 'Makan Korban', Siapa?