Mamit Setiawan
Mamit Setiawan

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch. Energy Watch merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pengambilan dan pelaksanaan kebijakan energi nasional.

Profil Selengkapnya

Subsidi dan Keberlanjutan Ekonomi

Opini - Mamit Setiawan, CNBC Indonesia
02 June 2022 19:59
Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Senin (5/2/2018). Tahun ini, bank Indonesia memperkirakan ekonomi akan tumbuh lebih baik dibandingkan dari tahun lalu di kisaran 5,1 hingga 5,5 persen seiring membaiknya perekonomian global. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto) Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Dengan kerja sama Pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia, pandemi semakin terkendali dan dampak pandemi berhasil ditahan agar tidak berdampak signifikan pada perekonomian, sehingga Indonesia dapat melanjutkan pemulihan ekonomi. Hal ini bisa dibuktikan dengan terealisasinya program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencapai 15% dari pagu anggaran. Yang mencakup program penanganan kesehatan kemudian program perlindungan masyarakat yang terdiri dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng, BLT desa, BLT warung, nelayan dan kartu pra kerja. Selain itu, Pemerintah juga melakukan perluasan bantuan sosial dengan program bantuan Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan (PKL-WN) untuk kemiskinan ekstrim.

Sejak bulan Juli 2020, pemerintah telah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) sebagai upaya integrasi penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi dalam sebuah komite lintas Kementerian/Lembaga. Salah satu respon kebijakan KPC-PEN sebagai instrument utama pengendalian Covid-19 dan pemulihan ekonomi adalah menyiapkan anggaran dan program dalam rangka penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, melalui program PEN.

Komite PC-PEN terus melakukan koordinasi dalam pelaksanaan program PEN untuk melakukan evaluasi dan update alokasi serta proyeksi penyerapan sampai dengan akhir tahun. Upaya optimalisasi dana PEN ini dilakukan agar dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional, khususnya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, memberikan dukungan bagi dunia usaha, dan yang terpenting adalah mendorong daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat secara agregat.

Namun demikian, risiko perekonomian dunia telah bergeser dari pandemi menuju risiko lain seperti inflasi, pengetatan kebijakan moneter, serta perlambatan ekonomi global yang diperparah dengan tensi geopolitik. Resiko tersebut menjadi perhitungan bagi pelaku bisnis di Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa hal, yang pertama perang Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan, selain itu kebijakan bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang lebih hawkish di suku bunga, dimana kenaikan suku bunga ini juga dapat memicu kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia dan bayang-bayang inflasi di Amerika dan dunia ikut mempengaruhi kenaikan inflasi di Indonesia. Salah satu indikator masih belum stabilnya keadaan ekonomi Indonesia, terjadi penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam satu bulan terakhir sebesar 5,33%.

Berbagai risiko ini memberikan tekanan kepada ekonomi dalam negeri, khususnya untuk sektor pangan dan energi. Hal ini dapat dilihat pada tekanan inflasi yang mulai meningkat pada April 2022 tercatat 3,5%, lebih tinggi 0,9 dibandingkan Maret 2022. Akan tetapi, bila dibandingkan negara-negara G20, seperti: AS 8,3%, Inggris 9,0%, Turki 70,0%, Argentina 58,0%, Brazil 12,1%, dan India 7,8% tekanan inflasi di Indonesia masih jauh lebih rendah.

Pemerintah melalui pemetaan risiko fiskal pada Nota APBN 2022 sebenarnya telah jelas menyatakan bahwa kebijakan tapering off di Amerika Serikat akan berimplikasi terhadap perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Risiko yang terindentifikasi atas data histori kebijakan tappering off Amerika Serikat sebelumnya mulai dari meningkatkan yield obligasi, meningkatkan capital outflow, dan depresiasi mata uang negara berkembang yang tentunya akan langsung mempengaruhi kapasitas fiskal, terutama dalam penggunaan instrumen fiskal untuk mendukung pemulihan ekonomi dalam negeri.

Oleh karena itu, Pemerintah terus berupaya memitigasi rambatan dari risiko global tersebut dengan berbagai bauran kebijakan yang salah satunya dengan kesepakatan bersama Pemerintah (Kemenkeu) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menambah Alokasi Anggaran Subsidi dan Kompensasi Energi sebesar Rp 350 Triliun untuk Pertamina dan PLN, dengan rincian Rp74,9 T yang meliputi subsidi BBM dan LPG Rp 71,8 triliun dan Listrik Rp 3,1 triliun, serta kompensasi sebesar Rp 275 triliun.

Kebijakan tersebut dipilih karena mempertimbangkan dua opsi yakni, jika subsidi tidak dinaikkan maka harga BBM dan listrik naik, begitu sebaliknya jika harga BBM dan listrik tidak naik maka subsidi yang naik. Hal ini disebabkan karena asumsi harga minyak mentah Indonesia Crude Price (ICP) yang digunakan dalam APBN 2022 sebesar USD 63 per barel. Namun saat ini nilai ICP berada di atas USD 100 per barel yaitu USD 102,5 per barel.

Atas berbagai upaya dan terobosan yang dilakukan pemerintah untuk menjaga agar harga BBM dan LPG subsidi tidak naik di tengah tingginya harga minyak mentah dunia patut diapresiasi. Kebijakan menambah subsidi BBM dan LPG dalam APBN 2022 dinilai tepat daripada harus menaikkan harga.

Pemerintah mengambil sikap untuk menambah subsidi daripada menaikkan harga BBM dan LPG sebagai bentuk perhatian pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Langkah tersebut juga merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilitas inflasi secara domestik.

Selain itu, Pemerintah terus berupaya dengan dengan melakukan penebalan perlindungan sosial sebesar Rp 18,6 triliun, diantaranya dimanfaatkan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 20,65 juta Kader Pembangunan Manusia (KPM) dan Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM). Hal ini dikarenakan meningkatnya harga berbagai barang konsumsi, sejalan dengan adanya tren kenaikan inflasi global membuat pemerintah perlu melakukan antisipasi untuk menjaga daya beli masyarakat.

Pemerintah juga menganggarkan untuk Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 28,7 triliun, kartu sembako Rp 45,1 triliun, kartu prakerja Rp 11 triliun, BLT desa Rp 28,8 triliun, dan juga Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan Rp 46,5 triliun. Pemerintah juga akan memperluas pemberian perlindungan masyarakat antara lain bantuan prakerja sebesar Rp 9 triliun, bantuan PKL warung dan nelayan Rp 1,7 triliun, serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng Rp 7,5 triliun.

Hal ini menjadi bentuk komitmen Negara untuk hadir dalam melindungi masyarakat menengah, miskin, dan rentan, serta UMKM dari kenaikan harga BBM dan listrik, dengan tidak membebani kenaikan harga dunia (pass through) kepada masyarakat miskin, rentan dan UMKM. Kondisi ekonomi masyarakat dengan segala bentuk, sebab dan karakteristiknya dipastikan akan mengurangi kemampuan bangsa dalam mencapai tujuannya, menghambat upaya-upaya penyejahteraan masyarakat, dan mereduksi kesempatan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penyelesaian masalah kemiskinan membutuhkan sinergi seluruh elemen bangsa, koherensi upaya negara, swasta dan masyarakat, serta komitmen yang kuat untuk mengarahkan dan melaksanakan strategi penganggulangan kemiskinan pada fokus perbaikan taraf kehidupan.

Oleh sabab itu, dalam melindungi masyarakat menengah, miskin dan rentan, serta UMKM maka penyesuaian tarif (tarif adjustment) untuk tarif listrik masyarakat kecil dan menengah, pelaku UMKM, bisnis, dan industri tidak berubah. Pelanggan terdampak hanya sekitar 2,5% dari total pelanggan dan merupakan masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas.

Sementara subsidi BBM dan LPG akan menggunakan mekanisme efektif dan efisien agar tepat sasaran bagi masyarakat yang berhak. Masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi bisa menikmati harga BBM dan LPG dari pemerintah. Kebijakan ini juga sebagai bagian dari Pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah momentum pemulihan ekonomi, dan menjaga fiskal negara tetap sehat dan berkelanjutan

Kenaikan anggaran ini dapat dipenuhi dari kinerja penerimaan negara yang mengalami kenaikan signifikan yang berasal dari faktor kenaikan harga komoditas (windfall profit) dan hasil dari upaya reformasi perpajakan, sehingga defisit APBN dapat terus membaik. Naiknya harga komoditas global, seperti batu bara; kelapa sawit (CPO); nikel dan komoditas Indonesia unggulan lainnya memberikan pemasukan yang cukup signifikan bagi APBN baik itu berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun perpajakan.

Apa yang dilakukan Pemeritah dalam membuat alokasi belanja subsidi dan kompensasi energi dilakukan secara good governance agar dapat tepat sasaran, akuntabel, dan transparan. Penggunaan teknologi diperlukan dalam implementasi kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah. Kebijakan dalam pengimplementasian subsidi energi harus tetap mengutamakan aspek efisiensi, efektivitas, dan keadilan yang tercermin dalam kebijakan mekanisme pendistribusiannya yang tepat sasaran kepada penerima subsidi yang berhak. Pemerintah harus bisa memastian bahwa kebijakan subsidi dan kompensasi akan diselaraskan dengan komitmen dalam penangan iklim sesuai yang tercantum pada Nationaly Determined Contribution (NDC) dalam Perjanjian Paris dan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 2030 yang akan datang.

(dpu/dpu)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading