Jakarta, CNBC Indonesia - Ada kabar kurang enak dari Amerika Serikat (AS). Inflasi yang diukur dengan Personal Consumption Expenditure (PCE) inti melambat. PCE inti adalah inflasi yang menjadi referensi bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed.
Pada April, laju PCE inti dilaporkan sebesar 4,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan Maret yang sebesar 5,2%.
Inflasi inti mengeluarkan komponen barang dan jasa yang harganya bergejolak. Dalam kasus AS, mengecualikan pangan dan energi.
Oleh karena itu, inflasi inti dipandang sebagai indikator kekuatan daya beli. Saat inflasi inti tinggi, artinya daya beli sedang kuat karena bisa sampai 'menggoyang' harga barang dan jasa yang sifatnya persisten.
Di satu sisi, perlambatan laju inflasi inti di Negeri Paman Sam adalah kabar baik. Artinya, ada kemungkinan The Fed tidak akan terlampau agresif dalam mengerek suku bunga acuan.
Mengutip CME FedWatch, suara pasar masih terbelah. Ada yang memperkirakan posisi Federal Funds Rate akhir tahun ini di 2,2-2,75% tetapi tidak sedikit yang menilai akan ada di 2,75-3%. Probabilitas keduanya boleh dibilang seimbang. Even steven.
 Sumber: CME FedWatch |
Apabila The Fed benar-benar tidak terlampau agresif dalam menaikkan suku bunga acuan, maka ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Negeri Adikuasa. Suku bunga kredit perbankan tidak akan naik terlalu tinggi, sehingga masih ada ruang bagi rumah tangga dan dunia usaha untuk berekspansi. Ini menjadi bekal untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.
Halaman Selanjutnya --> Inflasi Inti Melambat Tanda Penurunan Daya Beli
Namun di sisi lain, perlambatan laju inflasi inti patut diwaspadai. Sebab, ini bisa menjadi sinyal bahwa daya beli mulai lesu, tidak sekuat dulu.
"Ekonomi selalu dapat berubah. Konsumsi adalah yang menjaga dari angin resesi" kata Christopher Rupkey, Kepala Ekonom FWDBONDS yang berbasis di New York, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Padahal konsumsi adalah penopang perekonomian Negeri Stars and Stripes. Kontribusi konsumsi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 80%. Jadi kalau konsumsi melambat, maka dampaknya akan luar biasa.
Dibayangi oleh risiko konsumsi yang melemah, omongan soal resesi ekonomi kian mengemuka. Menurut kajian Morgan Stanley, ada kemungkinan 25% Negeri Adidaya mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan.
Bank of America Corp baru-baru ini mengungkapkan bahwa pihaknya melihat risiko resesi masih rendah. Namun risiko itu akan meningkat pada 2023.
Andai AS benar-benar jatuh ke jurang resesi, maka efeknya akan sangat terasa. AS adalah perekonomian terbesar di Planet Bumi. Dunia kita berputar mengikuti AS.
Indonesia tidak akan imun terhadap dampak resesi ekonomi di AS. Belajar dari pengalaman Krisis Keuangan Global maupun krisis akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), ekonomi Indonesia bakal melambat saat AS terserang resesi.
Akan tetapi, pelaku pasar memperkirakan risiko resesi di Indonesia masih minim. Setidaknya dalam waktu dekat.
"Dengan aktivitas warga yang semakin normal, sektor jasa dan pariwisata akan pulih. Investasi juga akan tumbuh lebih tinggi pada semester II seiring peningkatan utilisasi produksi.
"Untuk keseluruhan 2022, kami memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5%. Sedikit lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yaitu 4,8%," papar Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
Radhika Rao, Ekonom DBS, juga mengungkapkan rasa optimisme. Menurutnya, ekonomi Ibu Pertiwi bisa tumbuh setidaknya 4,8% tahun ini.
"Permintaan akan tetap kuat seiring pembukaan aktivitas ekonomi, cakupan vaksinasi, dan kinerja perdagangan internasional akan menjadi pilar pendukung. Kami tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 4,8%," sebut Rao.
TIM RISET CNBC INDONESIA