
Sederet Negara Ini Bakal Resesi, RI Ada di Antrean?

Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi ekonomi membayangi sejumlah negara di dunia. Saat ini, tanda-tanda resesi mulai nampak di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Bagaimana dengan Indonesia?
Ekonomi AS memperlihatkan kondisi yang kian memburuk, salah satu faktor penyebabnya adalah tekanan dari suku bunga acuan bank sentral yang tinggi.
Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan bakal menaikkan suku bunga acuan hingga tujuh kali tahun ini, untuk meredam inflasi yang melonjak gila-gilaan. The Fed masih memiliki pekerjaan besar untuk menekan inflasi menuju target 2%. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut hampir pasti terjadi.
Ketika suku bunga tinggi, konsumen mendapatkan pengembalian yang lebih tinggi atas uang yang mereka simpan di rekening bank. Hal ini, nyatanya, membuat minat untuk meminjam uang di bank justru menjadi menurun.
Kekhawatiran bahwa langkah agresif The Fed untuk menaikkan suku bunga dapat mendorong ekonomi ke dalam resesi. Langkah bank sentral itu juga menyebabkan pasar merosot selama berturut-turut.
Meningkatnya kekhawatiran terkait kondisi ekonom AS, Goldman Sachs memperkirakan ada kemungkinan 15% dalam satu tahun ke depan dan 35% ekonomi AS memasuki resesi dalam dua tahun ke depan. Penelitian terbaru yang dikutip Reuters, Morgan Stanley menunjukkan kemungkinan 25% resesi akan terjadi dimulai dalam 12 bulan ke depan.
Sedangkan Bank of America Corp baru-baru ini mengungkapkan bahwa pihaknya melihat risiko resesi masih rendah tetapi akan meningkat pada 2023.
CEO Citi, Jane Fraser, di sela-sela World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, Senin (23/5/2022) mengatakan bahwa pertemuan faktor, termasuk perang di Ukraina dan krisis energi yang dihasilkan, telah membuat Eropa rentan terhadap penurunan yang cukup besar.
"Eropa berada tepat di tengah badai dari rantai pasokan, dari krisis energi, dan jelas dekat dengan beberapa kekejaman yang terjadi di Ukraina," katanya kepada Geoff Cutmore dikutip CNBC International, Rabu (25/5/2022).
Dengan situasi ini, Fraser bahkan menyebut kalau AS memiliki ketahanan yang lebih dibandingkan Eropa. Meski begitu, Negeri Paman Sam hari ini sangat bergantung pada strategi The Fed dalam menaikkan suku bunga.
"Ada beberapa penyangga di sana untuk melihat apakah itu digunakan dengan bijak atau tidak," tambahnya.
Resesi AS diperkirakan akan memudarkan kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia. Perubahan pelaku investor semakin mengincar safe haven seperti emas dan dan obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Artinya, capital outflow dari pasar modal kemungkinan besar akan terjadi. Hal ini bisa dilihat dari penjualan bersih saham di Indonesia jika aksi jual asing terus berlanjut.
Resesi AS yang diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat akan berdampak pula terhadap negara kita.
Bukan tanpa alasan, AS merupakan mitra dagang utama dimana pada akhirnya membuat daya beli konsumen menurun sehingga menyebabkan permintaan ekspor seperti tekstil, pakaian jadi, olahan kayu, dan alas kaki merosot pada kuartal II-2022.
Kendati demikian, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan ada dua indikator utama yang penting diketahui masyarakat. Pertama pertumbuhan ekonomi yang masih mampu tumbuh tinggi. Kuartal I-2022 mencapai 5,01%.
"Ekonomi kita tumbuh," ungkapnya usai rapat dewan gubernur (RDG), Selasa (24/5/2022).
Kuartal II 2022, berbagai indikator dini menunjukkan aktivitas perekonomian yang terus membaik, seperti tercermin pada pertumbuhan positif penjualan eceran, ekspansi Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur, serta realisasi ekspor dan impor yang tetap tinggi, yang didukung oleh meningkatnya mobilitas dan pembiayaan dari perbankan.
"Pertumbuhan ekonomi 2022 diperkirakan tetap berada dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5-5,3%," jelas Perry.
Selanjutnya inflasi. Secara tahunan, inflasi IHK April 2022 tercatat 3,47% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy), seiring dengan peningkatan harga komoditas global, mobilitas masyarakat, dan pola musiman Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Perry tidak menutup mata kenaikan inflasi masih akan terjadi ke depannya. Di akhir tahun diperkirakan inflasi bisa sedikit di atas 4%. Namun di tahun berikutnya inflasi akan kembali terkendali ke level 3 plus minus 1%.
"Dari dua fakta ini, apakah resesi, stagflasi dan terminologi yang lain. Yok bersama dorong ekonomi tumbuh," ujarnya.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Terkini Jepang Terancam Resesi, Ekonomi Kontraksi