PNS Bisa Kerja di Mana Saja, Kira-kira Kayak Gimana Jadinya?

Maesaroh, CNBC Indonesia
13 May 2022 15:00
INFOGRAFIS, PNS Siap-Siap Kerja dengan Gaya Baru: WFA (Work From Anywhere)
Foto: Infografis/ WFA (Work From Anywhere)/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah menggagas skema kerja baru untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yakni kerja dari mana saja (Work From Anywhere/WFH). Namun, WFA juga memiliki tantangan berat termasuk mengalihkan pegawai dari kebiasaan bermain media sosial (medsos).

Bekerja dari jauh atau dari mana saja sebenarnya bukanlah cara yang benar-benar baru. Jauh sebelum kata WFH populer, orang sudah mengenal telework untuk bekerja bukan dari kantor.

Oswar Mungkasa1 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Republik Indonesia dalam jurnalnya Bekerja dari Rumah (Working From Home/WFH): Menuju Tatanan Baru Era Pandemi COVID 19 mengatakan istilah bekerja jarak jauh pertama kali muncul dalam buku The Human Use of Human Beings Cybernetics and Society oleh Norbert Wiener pada tahun 1950 yang menggunakan istilah telework.

Pemerintah Federal Amerika Serikat bahkan sudah membuka pilihan bekerja jarak jauh secara resmi pada awal tahun 1990-an.

OWL Labs bekerja sama dengan Global Workplace Analytics melakukan survei kepada 2.050 pekerja penuh waktu Amerika Serikat (AS) mengenai dampak dan pengalaman mereka selama WFH di masa pandemi Covid-19.

Sebanyak 57% pekerja yang disurvei memilih untuk bekerja dari rumah dibandingkan kantor. Hanya 36% responden yang mengatakan bahwa kantor adalah tempat terbaik untuk bekerja.

Sebanyak 70% yang disurvei juga memilih rapat kerja secara virtual. Tingkat stres saat rapat virtual lebih kecil jika dibandingkan dengan rapat tatap muka. Sebanyak 64% yang disurvei juga menginginkan kerja secara hybrid jika harus ada kewajiban ke kantor.

Sebanyak 83% responden mengaku WFH membuat mereka sama produktifnya dibandingkan bekerja di kantor. Tiga dari empat orang responden atau 74% mengaku lebih sehat secara mental setelah bekerja secara remote. Yang mengejutkan, 38% responden bersedia jika pendapatannya dipotong 5% asal diizinkan kerja secara remote. Satu dari empat responden juga menjawab bahwa mereka akan berhenti kerja jika kantor mereka tidak mengizinkan kembali WFH.

Dari ribuan pemberi kerja yang disurvei, hanya 39% dari pemberi kerja yang menuntut kerja office penuh.

Kajian dari lembaga lain menunjukkan bahwa tingkat produktivitas bekerja dari rumah lebih tinggi dibandingkan di kantor. Pekerja juga akan bekerja lebih konsisten dan menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja. Pekerja WFH juga menyelesaikan pekerjaannya relatif lebih cepat.

Pekerja yang disurvei mengatakan tidak adanya waktu tempuh ke kantor, sedikitnya interaksi sosial, dan tidak adanya gangguan seperti mengobrol di kantor membuat bekerja di rumah lebih efektif. Studi juga menunjukkan bahwa WFH meningkatkan tingkat kepuasan kerja.

Survei Airtasker mengatakan rata-rata pekerja menghemat waktu hingga 8,5 jam sehari karena WFH. Dengan waktu yang lebih banyak mereka bisa menambah waktu olahraga mereka menjadi 30 menit per minggu.

Studi yang dilakukan Standford kepada 16.000 pekerja selama sembilan bulan selama awal pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa WFH bisa meningkatkan produktivitas 13%. Produktivitas lebih tinggi karena lingkungan yang lebih tenang dan kondusif. Mereka juga memiliki jam istirahat lebih sedikit dan lebih jarang sakit sehingga lebih sering masuk kerja.

Survei yang dilakukan Airtasker menunjukkan bahwa bekerja dari rumah menghindarkan seseorang dari menunda-nunda pekerjaan. Jumlah hari untuk bekerja juga meningkat 1,4 hari per bulan karena mereka berhenti kerja lebih sedikit dibandingkan saat di kantor.

Gangguan terbesar saat WFHFoto: valoir
Gangguan terbesar saat WFH

Perusahaan riset Valoir membuat studi mengenai efektivitas bekerja secara remote. Survei tersebut dilakukan kepada pekerja di Amerika Serikat, Eropa dan Asia Pasifik. Survei menunjukkan gangguan utama WFH bukanlah anak-anak atau anggota keluarga.

Gangguan utama WFH adalah media sosial. Sebanyak sepertiga responden mengaku menghabiskan waktu dua jam sehari untuk bermain atau membaca informasi dari media sosial. Namun, mereka kemudian mengkompensasinya dengan memperpanjang jam kerja.
Studi Valoir menunjukkan gangguan dari anak kecil hanya mengurangi produktivitas sekitar 2%.

Namun, produktivitas bekerja dari rumah diyakini tidak akan sekencang periode awal atau tetap kencang selamanya. Laporan dari The New York Times menyebutkan bahwa banyak perusahaan yang melaporkan karyawannya mulai mengeluhkan kurangnya interaksi sosial dalam bekerja. Kesehatan mental juga mulai mengganggu produktivitas.

Perusahaan seperti Splunk, Affirm, dan Microsoft mengatakan ada lonjakan produktivitas yang luar biasa di awal-awal masa karantina. Namun, seiring berjalannya waktu, pekerja mulai kesepian karena bekerja di rumah sehingga mengganggu produktivitas dan kepuasan bekerja.

Tidak semua negara juga menyambut baik bekerja dengan skema WFH. Jepang merupakan salah satu negara yang "menolak" skema tersebut. Fortune melaporkan jumlah pekerja WFH di Jepang hanya naik menjadi 20% selama pandemi Covid-19, 10% lebih tinggi dibandingkan kondisi normal. Bandingkan di AS di mana jumlah warga yang bekerja WFH naik menjadi 44% dari sebelumnya hanya 17%

"Banyak orang tua Jepang yang tidak paham bagaimana menggunakan Zoom ataupun aplikasi lain. Karena mereka tidak bisa melakukan pekerjaan itu, mereka khawatir pemberi kerja atau pekerja lebih muda mengetahui kekurangan tersebut," tutur seorang komuter di Tokyo, seperti dikutip dari Fortune.


Budaya kerja di Jepang juga menyulitkan skema WFH. Jepang terbiasa dengan proses kerja berdasarkan aturan yang sangat ketat, menuntut adanya interaksi, training kerja yang terus menerus, dan komunikasi bersama.

"Di Jepang, sedikit perusahaan yang memberikan pekerja dengan job role yang rigid. Pekerja dirotasi tugasnya dan departemenya sehingga training dari pekerja yang lebih berpengalaman sangat penting," tutur Parissa Haghirian, professor manajemen internasional dari Sophia University.

Ukuran rumah yang kecil di Jepang juga menyulitkan warganya WFH karena konsentrasi bisa terganggu. Mayoritas perusahaan Jepang juga berskala UKM sehingga menyulitkan adaptasi bekerja dari kantor ke rumah.

OECD dalam laporan Working from home From invisibility to decent work menyebutkan survei yang dilakukan pemerintah Jepang di tahun 2016 menunjukan hanya 13,2% dari 2032 perusahaan yang menggunakan sistem teleworking. Perusahaan tersebut memiliki karyawan lebih dari 100 orang.

Di Jepang, bekerja teleworking juga identik dengan pekerjaan informal. Survei yang dilakukan terhadap 577 kepala dan direktur bagian keuangan di Jepang sebelum April 2020 lalu menunjukan 31% perusahaan tidak bisa beradaptasi dengan teleworking karena dokumen pekerjaan yang belum terdigitalisasi dan aturan internal kantor yang ketat.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular