
Jokowi Cemaskan Resesi, Indonesia Bakal Kena?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, mengkhawatirkan terjadinya resesi global karena pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat (AS), ketidakpastian global, serta perang Rusia-Ukraina. Kepala Negara meminta semua pihak untuk mewaspadai ancaman tersebut.
Saat memberikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar di Istana Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/5/2022), Jokowi menyoroti sejumlah faktor yang kini mengancam perekonomian dunia, terutama kenaikan inflasi.
"Ini akan memunculkan resesi di banyak negara. Oleh karena itu, pengelolaan ekonomi makronya harus betul-betul diikuti secara detail dan mikronya juga," tutur Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut pun meminta jajarannya untuk terus memantau perkembangan terkini, utamanya yang berkaitan dengan pangan dan energi. Pasalnya, ketidakpastian global akan memicu kelangkaan pangan dan energi.
Kekhawatiran Jokowi akan 'hantu' resesi bisa dimengerti mengingat Indonesia pun baru saja lepas dari jerat resesi. Secara umum, resesi ekonomi ditandai dengan terjadinya kontraksi pada Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut.
Merujuk pada pengertian tersebut, ekonomi Indonesia masuk ke zona resesi pada 2020 dan 2021. Secara quartal to quartal (qtq), perekonomian Indonesia pernah terkontraksi selama tiga kuartal sepanjang kuartal IV-2019 hingga kuartal II-2020. Kontraksi dua kuartal secara beruntun juga kembali terulang pada kuartal IV-2020 hingga kuartal I-2021.
Secara year on year (YoY), ekonomi Indonesia juga mengalami kontraksi selama empat kuartal secara beruntun mulai kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021. Sebelumnya, Indonesia juga pernah resesi pada tahun 1998 buntut dari krisis moneter Asia.
Pada dua kuartal terakhir, perekonomian Indonesia sudah tumbuh kembali ke level historisnya yakni 5% (YoY). Pada kuartal IV-2021, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% sementara kuartal I-2022 tumbuh 5,01%.
Ekonom Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto meyakini perekonomian Indonesia masih akan tumbuh di atas 5% pada kuartal II tahun ini. Dengan demikian, Indonesia bisa mencatatkan pertumbuhan di atas 5% selama tiga kuartal. Artinya, Indonesia bisa semakin menjauh dari jurang resesi.
"Konsumsi ekonomi akan meningkat (pada kuartal II) didorong oleh Ramadan dan Lebaran. Gaji ke-13 juga akan mendorong belanja pemerintah dan aktivitas ekonomi. Ekspor juga masih akan membaik seiring kenaikan harga komoditas," tutur Myrdal dalam laporannya Indonesia GDP & Inflation Update.
Myrdal berharap pemerintah maupun pemangku kebijakan yang lain akan benar-benar memperhatikan dan menjaga laju konsumsi masyarakat. Pasalnya, pada kuartal I tahun 2021, konsumsi masyarakat yang tumbuh 4,34% berkontribusi terhadap pertumbuhan sebesar 53,7%.
"Ada tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan terutama kenaikan tekanan inflasi, meningkatnya suku bunga global serta ancaman penurunan ekspor akibat melemahnya aktivitas ekonomi di mitra dagang seperti China. Pemerintah perlu menjaga momentum pertumbuhan domestik dengan tetap menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
Untuk menjaga daya beli, Myrdal berharap pemerintah akan menahan harga BBM hingga tekanan inflasi mereda atau sekitar September. Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Indonesia meroket 0,95% (month to month/mtm) pada April 2022, yang menjadi level tertinggi sejak Januari 2017. Secara tahunan (YoY), inflasi Indonesia melesat ke level 3,47% atau tertinggi sejak Agustus 2019.
"Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun ini menandai bahwa pemulihan ekonomi terus berlanjut tetapi pertumbuhan konsumsi walaupun meningkat belum kembali ke level sebelum pandemi," tuturnya.
Sebelumnya, Kepala Ekonom BCA David Sumual dan Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga memperkirakan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di atas 5% pada kuartal II tahun ini.
"Kalau kita lihat sampai Mei masih oke. Aktivitas ekonomi makin bagus. Kegiatan lebaran seperti mudik akan memberikan insentif besar dan pengaruhnya lebih baik karena tahun lalu tidak ada aktivitas mudik," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, sekitar 85,5 juta orang melakukan perjalanan mudik pada Lebaran tahun ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan dua tahun lalu di mana pemerintah melarang tradisi mudik. Besarnya dampak mudik ke perekonomian setidaknya sudah tercermin dari perputaran uang selama Lebaran.
Bank Indonesia mencatat, sepanjang momentum Ramadan dan libur Idul Fitri tahun 2022 ini, realisasi penarikan uang tunai meningkat 16,6% dibandingkan realisasi tahun 2021 dari sebesar Rp 154,5 triliun menjadi Rp 180,2 triliun. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelum kondisi pandemi (Mei 2019) yang sebesar 9,21% (yoy).
Namun, sejumlah tantangan sudah menghadang di kuartal III tahun ini dari dampak inflasi yang tinggi, menurunnya daya beli, hingga kebijakan moneter yang ketat.
"Ada risiko dari kenaikan harga. Jika inflasi meningkat dan sulit dikendalikan ada risiko penurunan daya beli yang membuat konsumsi melemah. Lonjakan inflasi juga bisa membuat Bank Indonesia menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan sehingga investasi bisa terganggu," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Waduh! Inggris Resmi Masuk Resesi Ekonomi