Jokowi 'Pening', Hantu Resesi Global Gentayangan Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengungkap kekhawatirannya terhadap dinamika perekonomian dunia yang bisa semakin menimbulkan ketidakpastian, bahkan memicu resesi di banyak negara.
Jokowi menekankan di depan jajaran menterinya saat memberikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna yang digelar di Istana Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
"Saya ingin kita semuanya tetap konsentrasi pada masalah yang berkaitan dengan pandemi dan juga yang berkaitan dengan gejolak ekonomi global, yang sampai saat ini belum berhenti, belum selesai," kata Jokowi.
Salah satu yang menjadi sorotan utama Jokowi adalah ketegangan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Jokowi melihat, perang belum akan berakhir setidaknya dalam waktu dekat.
"Perang Ukraina masih belum berakhir dan kelihatannya menunjukkan tanda yang berkepanjangan, sehingga ketidakpastian global menjadi semakin tidak pasti," kata Jokowi
Selain perang antara Rusia-Ukraina, Jokowi juga menyoroti dampak dari normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS). Menurutnya, kebijakan bank sentral AS akan memicu kenaikan inflasi.
"Dan ini akan memunculkan resesi di banyak negara. Oleh karena itu, pengelolaan ekonomi makronya harus betul-betul diikuti secara detail dan mikronya juga," jelasnya.
Sebagai informasi, Bank Sentral AS diyakini akan semakin agresif dalam menormalisasi kebijakan moneter. Jika benar suku bunga mencapai 2,75-3% di akhir tahun ini, itu akan menjadi yang tertinggi sejak Maret 2008, lebih tinggi dari Maret 2019 di 2,25-2,5% yang pada akhirnya membuat perekonomian Negeri Adidaya melambat.
Inflasi yang tinggi, di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, membuat The Fed menjadi sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Tetapi, agresivitas tersebut membuat banyak analis, ekonom hingga pelaku pasar memprediksi Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi.
Apalagi, The Fed juga sudah menyatakan akan mengurangi nilai neraca (balance sheet) yang saat ini senilai US$ 9 triliun. Nilai neraca tersebut akan dikurangi secara bertahap.
Pada Juni, Juli, dan Agustus, dikurangi masing-masing US$ 47,5 miliar per bulan. Mulai September, nilai pengurangannya menjadi US$ 90 miliar per bulan.
Pengurangan tersebut membuat likuiditas di perekonomian akan terserap, artinya dukungan moneter untuk memutar roda bisnis semakin berkurang. Di sisi lain, dolar AS akan semakin kuat sehingga semakin membebani perekonomian.
[Gambas:Video CNBC]
Jokowi Buka Tabir Kenapa Perang Rusia-Ukraina Bisa Terjadi
(cha/cha)